"Hari ini belum menulis, Bang?"
"Belum!"
"Lagi sibuk, ya?"
"Lagi tak siap malu. Hiks..."
Sejujurnya, aku merasa sedikit ngartis, jika dihadapkan dengan pertanyaan itu. Jarang-jarang! Biasanya, aku acapkali ditanya, "Kenapa jeleknya nambah, Bang?"
Dengan merangkai seratus kata hingga seribu kata, adalah bohong, jika aku tak merasa sedikit besar kepala, ternyata aku diperhatikan. Ternyata lagi, tulisanku dinantikan. Atau berkat tulisan itu, aku mendapatkan satu atau dua pembaca yang akhirnya menjadi teman baru.
Sesungguhnya, aku setiap hari menulis. Jika ide muncul, bisa saja aku tulis sebagai konsep dalam catatan ponsel. Atau draft kasar yang berserakan dalam file di komputer. Setidaknya, ada tiga alasan, kenapa kulakukan itu. Aku tulis, ya?
Pertama. Bersiap Malu Setelah Menulis
Aku sering menjawab, ketika menulis, aku mesti dalam kondisi siap malu. Jika sudah menayangkan tulisan, artinya, aku sudah bersiap dan berserah diri atas semua isi tulisanku. Termasuk berani malu. Kok, bisa?
Aku tak terlatih sebagai pelempar batu ke sebuah lubuk. Dan bukan termasuk golongan yang tak lagi kepikiran, bagaimana nasib tulisanku itu nanti. Atau golongan terserah pembaca saja. Mau diingat, disimpan atau dilupakan.
Dalam menulis, bisa saja yang aku tulis itu malah "dianggap" mengajari, menyalahkan, atau seakan-akan aku makhluk paling suci. Terkadang boleh jadi isi tulisanku tak berdasar, tanpa landasan teori plus bangunan argumentasi yang presisi.