Deras hujan hari ini, memaksaku menunda keinginan untuk pulang ke rumah. Dan, hasil paksaan butiran hujan itu membuatku mengenang ulang. Jika rumah adalah alasan untuk merasakan pulang.
Nyaris semua orang, begitu ingin memaknai rumah dengan idiom "rumahku, surgaku" (Baity jannaty).
Terkadang, mendirikan dan memiliki rumah menjadi ukuran prestasi sekaligus prestise. Hingga beragam niat dan usaha dilakukan. Ada yang menapaki jalan yang lurus, tak jarang ada juga yang tersesat di jalan yang lurus.
Ada tiga alasan serta perasaan orang yang tentang ruang yang disebut rumah.
Pertama, sebagai Pembuktian.
Membangun rumah bak istana, megah dengan fasilitas yang lengkap dan serba wah. Mulai dari luas tanah, disain dan struktur bangunan, menilik detail bahan dan jumlah ruang, hingga pemilihan warna.
Namun, Tak jarang, untuk mewujudkan itu, mereka terlihat sibuk. Kesibukan demi kesibukan menciptakan situasi yang menuntut lebih banyak berada di luar di rumah. Hingga terbatas waktu menikmati rumah yang dibangun dengan susah payah.
Rumah hanya tempat untuk tidur, mandi dan berganti pakaian. Rumah bukan lagi pusat rasa, asa dan cinta. Seperti ungkapan Jalaluddin Rummy, "rumah menjadi ruang paling gelap di dunia. Tempat pulang untuk kekasih, tapi tanpa kekasih."
Kedua, sebagai Bentuk Kewajiban.
Karena rumah adalah bagian dari kebutuhan. Sehingga tak peduli bentuk dan ukuran, atau penataan ruang juga warna. Rumah adalah tempat berteduh dari hujan dan naungan terik siang. Dan area khusus untuk aktivitas pribadi.
Tak butuh megah yang penting aman, tak perlu mewah tapi merasa nyaman. Rumah adalah pusat kebahagiaan. Ketika canda, tawa dan senyuman bersatu dalam bilik-bilik kehidupan. Menghadirkan kehangatan pada setiap penghuni.