Lihat ke Halaman Asli

zaldy chan

TERVERIFIKASI

ASN (Apapun Sing penting Nulis)

Puisi: Jeda Senja di Persimpangan

Diperbarui: 9 Januari 2021   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Jalanan dan Senja (sumber gambar: pixabay.com)

(I). Langit menawarkan gerimis.

Bibir mungil itu sedari tadi komat-kamit. Tak peduli suara dengung kendaraan yang lalu lalang. Sesekali wajahnya menatap langit. Dan, kembali komat-kamit. Matanya menatap uang receh di telapak tangan. Masih jauh dari jumlah setoran?

(II). Langit masih saja gerimis.

Bibir tua itu sejak tadi komat-kamit. Dua tangan perlahan menuntun tongkat besi, dua kaki terlatih berjalan di antara kendaraan yang berhenti. Sesekali wajahnya menatap langit. Dan, kembali komat kamit. Matanya menatap sepasang sandal jepit. Belum waktunya pamit?

(III). Langit baru saja menyimpan gerimis

Bibir tak bergincu letih komat-kamit. Bahunya tak henti mengayun kain gendongan. Tergesa bergerak di antara kendaraan dan tangisan. Berkali, matanya perih melirik langit. Dan, kembali komat kamit. Tangis itu butuh susu, bukan ibu. Kenapa warna lampu tak hanya satu?

(IV). Langit meretas senja

Bibir-bibir gagu berhenti komat-kamit. Saatnya meratap ke langit. Terbiasa mereguk pahit. Dan, melupakan rasa sakit. Senja adalah pertanda jeda. Pulang, dan merawat luka. 

Tanyaku kembali tersekat jendela kaca.

Curup, 08.01.2021
zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline