Lihat ke Halaman Asli

zaldy chan

TERVERIFIKASI

ASN (Apapun Sing penting Nulis)

Puisi: Abu Perjalanan

Diperbarui: 29 Desember 2020   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sepatu pengembara (sumber gambar: pixabay.com)

Seorang pengembara menyelinap dari pundak kesunyian. Tergesa meletakkan setumpuk bacaan di dekat tungku perapian. Teman perjalanan yang begitu erat melekat. Harapan-harapan panjang tanpa alamat.

Tangan pengembara meraih dua lembar kusam, bibirnya terbata mengeja masa silam. Tertatih berbisik nama demi nama, dan terhenti pada satu makna yang memantik air mata.

Karenamu, sendiri kutinggalkan. Hingga kelahiran demi kelahiran menjauhkan. Kau dan aku tak pernah benar-benar menikmati sepi. Namun, kau pergi! Cinta adalah pengorbanan sepi.

Tanpa suara, tungku perapian melumat jejak cinta pengembara.

Kali ini, tangannya meraih semua lembaran yang tersisa. Sepenuh rasa, menepuk pelan keinginan yang membeku kedinginan. Sepenuh jiwa, mengusir debu-debu masa lalu yang mengusik laju waktu.

Untukmu, kurasakan rindu menunggu. Dan, sayatan sembilu tak mampu meluruhkan pilu. Kau adalah teman perjalanan. Tapi, kau beban kehidupan. Keinginan bukan lagi pengorbanan!

Tungku perapian menggeliat dalam hening. Abu pembakaran bergeming. Alam bersekutu memeluk waktu. Menunggu.

Langit senja membasuh harapan. Berharap tungku perapian tak pernah bosan. Perjalanan adalah pengulangan. Pengembara pasti kembali.

Bertelanjang dada, seorang pengembara melanjutkan perjalanan. Baju disandang penuh abu pembakaran. Meninggalkan tungku perapian. Tanpa pesan. Tanpa alasan.

Curup, 28.12.2020
zaldychan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline