Lihat ke Halaman Asli

zaldy chan

TERVERIFIKASI

ASN (Apapun Sing penting Nulis)

Cerpen: Tujuh Belas Tahun Lalu

Diperbarui: 22 Desember 2020   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi bangunan tua (sumber gambar: pixabay.com)

Tak lagi ada bangunan tua bergaya Eropa peninggalan Belanda itu. Juga barisan pagar kokoh berbahan kayu ulin hitam yang menurut cerita orang-orang tua dulu, diangkut langsung dari pulau Kalimantan.

Dulu, halamannya luas. Ditumbuhi rumput hijau membentang, dan hanya bisa tumbuh dengan tinggi sejengkal. Halaman itu, kusebut lapangan Belanda.

Setiap sore, lapangan Belanda itu berubah menjadi taman kota. Bagi anak laki-laki, menjadi tempat bermain bola. Anak-anak perempuan biasanya bermain masakan, terkadang bermain lompat tali yang dirangkai dari karet gelang.

Para ibu berkumpul dengan duduk melingkar, bertukar cerita juga canda sambil mengasuh. Sesekali, kulihat mereka duduk rapat dan berbisik-bisik. Mungkin bicara rahasia. Terkadang, ada yang terlihat marah seraya memangku paksa anaknya yang menangis, karena tak mau rambutnya dijadikan ajang berburu kutu.

Setiap musim layangan. Laki-laki dewasa yang memenuhi lapangan Belanda. Langit sore akan dipenuhi layangan yang beraneka warna. Ukurannya besar-besar. Ada yang berbentuk kupu-kupu serta mengeluarkan bunyi. Ada juga yang mirip ikan cupang dengan ekor yang panjang.

Adalah kebanggaan bagiku dan teman-teman, jika pemilik layangan meminta untuk membantu menggulung benang. Tak jarang terjadi perebutan sengit. Akhirnya, pemilik layangan yang membuat aturan dan menentukan. Bila terlihat perebutan itu sudah menjurus ke arah pertengkaran.

Namun, aku tak pernah bermain di dalam bangunan tua itu. Aku tahu, di halaman belakangnya ada tiga kuburan berukuran besar. Cerita temanku, Ibunya pernah melihat hantu orang Belanda.

Tujuh belas tahun lalu, aku percaya cerita itu. Walau aku tak tahu, siapa orang Belanda itu. Akupun tak tahu bagaimana rupa hantu. Tapi aku tahu, dan masih mengingat Mak Ijah.

***

Kini, tersisa satu pohon beringin raksasa. Dahannya menjuntai hingga ke seberang jalan. Daunnya rindang dengan akar yang menjulur keluar dari tanah. Menjadi tempat orang duduk untuk beristirahat, sekaligus tempat berteduh di saat hujan. Juga menjadi tempat parkir gerobak Mak Ijah.

"Pesan satu, Mak!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline