Kau tahu? Angin tak dapat ditangkap. Asap tak dapat digenggam. Pulanglah, Nak!
Kau membisu. Aku membaca barisan kata pada sehelai kertas itu. Kau menunggu. Aku menuang kembali ingatan dulu.
Bayangan senja baru saja berteduh di depan pintu. Langit pun masih mengikat erat gulungan awan mendung. Namun, tak lagi ada mendung di wajahmu. Di sudut matamu, butiran bening itu baru saja memulai ritual pilu. Tangisanmu.
"Kau mau pulang?"
Tangan kananku mengusap rambutmu. Dua tanganmu, menggenggam tangan kiriku. Aku mengingat peristiwa lima tahun lalu. Di rumahmu. Di hadapan Ibumu. Kuajukan satu pertanyaan untukmu.
"Kau bersedia ikut denganku?"
Saat itu, tangismu adalah jawabanmu. Senja kali ini, pelukmu untukku.
***
Bebatuan karang itu, begitu kukuh. Bertahan dari hempasan gelombang air laut yang bergantian menghujam. Hingga ombaknya terpecah dan mengalun tenang menyapu pasir pantai. Beberapa kali membasuh kakiku, juga membasahi kakimu.
"Ayah tak mau lagi bertemu, Mas!"
Sore itu, adalah pertemuan kedua, setelah kejadian malam itu. Aku bertamu ke rumahmu. Saat itu, aku berhadapan dengan batu karang. Ayahmu.