"Besok, hujan lagi?"
"Iya, Yah!"
Lamat-lamat, kudengar bunyi langkah menjauh dari ruang tengah. Seperti biasa, ayah membenci tapi butuh berita prakiraan cuaca. Tak lama, kumatikan televisi. Kakiku segera mengikuti langkah ayah ke beranda. Nyaris pukul setengah sepuluh, malam itu.
Deru angin mengajak air hujan menjejaki hampir separuh lantai beranda. Bersisa sudut sempit di dekat jendela. Terdapat bangku panjang tua berbahan bambu kuning, tempat ayah menikmati kepulan asap kreteknya. Ayah berdiri, saat melihatku.
"Sudah tiga hari hujan!"
"Kan, bulan juni, Yah?"
"Perutku, perut ibumu, perutmu dan dua adikmu, tak peduli urusan bulan!"
Aku terdiam. Tapi mataku refleks bergerak mengikuti puntung kretek yang dilontarkan jemari tangan kiri ayah ke halaman. Sesaat kulihat puntung itu terayun bersama genangan air hujan, sebelum lenyap ke selokan.
Ayah menepuk bahuku pelan. Sebelum bergerak kembali ke dalam rumah.
***
"Matikan!"