"Derita menjadi tertanggungkan ketika ia menjelma cerita." -- Hannah Arendt
Tersendatnya keinginan-keinginan menjadi kenyataan adalah jalan pintas melahirkan perasaan derita.
Jika menyigi sebab, terkadang derita seseorang didominasi faktor internal dari diri. Ketika dorongan pikiran merangkum simpul rekaman yang tertangkap semua indera ragawi, diwujudkan dalam bentuk keinginan.
Namun, adakalanya keinginan itu, karena dorongan faktor eksternal atau dari luar diri. Ketika keinginan orang-orang terdekat, secara langsung atau tidak, secara sadar atau tidak, dititipkan pada pikiran yang kemudian berubah menjadi keinginan pribadi daripada keinginan kolektif.
Keinginan vs Kenyataan
Acapkali sulit bagi manusia untuk meredam keinginan-keinginan. Seperti seorang petani membayangkan panen yang akan diraih, membuat daftar kebutuhan ini dan itu. Padahal saat itu, jemarinya masih menanam satu-persatu biji jagung ke dalam lobang di ladang.
Jika keinginan itu terwujud, dan hasil panen mampu memenuhi segala keinginan itu. Maka kepuasan dan kebanggaan menjadi ukuran kebahagiaan. Bagi diri sendiri atau untuk kebahagiaan bersama.
Namun, jika ternyata gagal panen bersebab perubahan cuaca, serangan hama atau saat panen mengalami ketimpangan harga? Terus, lebih gawat lagi, jika keinginan dan semua harapan itu "terlanjur" diujarkan kepada orang lain, kan?
Maka keinginan bertukar menjadi kegagalan. Kemudian bergeser lagi, menimbulkan keluhan, dan diam-diam bermuara menjadi beban. Nah, kukira rada riweh mencari orang yang mau diajak untuk rela berbagi beban, tah?
Kegagalan mewujudkan satu atau beragam keinginan, jika tak menemukan "saluran pelepasan" yang tepat guna, akan bermetamorfosis menjadi keluhan, beban, tekanan hingga penderitaan bagi seseorang saat menjalani etape kehidupan di masa depan.