Lihat ke Halaman Asli

zaldy chan

TERVERIFIKASI

ASN (Apapun Sing penting Nulis)

Seni Menulis Berpijak dari 3 Petuah Minang

Diperbarui: 26 Mei 2020   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi mendapat ide menulis. (Illustrated by pixabay.com)

Bahasa adalah identitas bangsa. Kalimat ini, acapkali kudengar. Namun, apatah kemudian Bahasa lisan dan bahasa tulisan kemudian bisa dianggap cerminan dari pikiran anak bangsa?

Jika dalam kajian interaksi sosial, salah satu unsurnya adalah komunikasi. Maka dalam komunikasi, cara menyampaikan pesan lisan atau tulisan termasuk unsur inti. Secara tak langsung, tulisan adalah bagian dari pergaulan, tah?

Izinkan, aku tulis seni komunikasi menulis, berpijak dari petuah Minang. Jika diadaptasi sebagai proses kreatif menulis. Karena, selain silat sebagai olahraga bela diri, dengar-dengar orang Minang juga terampil bersilat lidah. Benarkah? Aku tulis, ya?

"Elok diawak, katuju di urang"

Secara lugas bermakna "baik untuk diri sendiri, orang lain pun setuju". Kalimat di atas adalah petuah tetua minang, ketika akan memutuskan atau melakukan suatu tindakan.

Varian dari keputusan atau tindakan itu, biasanya berwujud ucapan, sikap maupun prilaku. Butuh menimbang-nimbang, apakah hal itu tersebut akan merugikan, menyinggung atau menyakiti?

Ukurannya? Dicoba dulu pada diri sendiri! Bisa saja keputusan atau tindakan itu, bagus untuk kita, tapi bagaimana jika itu diterapkan pada orang lain? Apatah akan merasakan hal yang sama?

Illustrated by pixabay.com

"Tau di rantiang ka mancucuak, tau jo dahan ka maimpok"

Pesan ini, menyiratkan "kehati-hatian" dalam memutuskan atau melakukan suatu tindakan. Sebelum itu dilaksanakan, terlebih dahulu melakukan analisis resiko, menyigi dampak yang mungkin akan terjadi.

Apatah hal itu akan menjadi "duri dalam daging" yang akan menghambat, atau malah menciptakan resiko yang lebih buruk lagi bagi diri sendiri dn orang lain.

Secara pribadi, aku acapkali terbuai, jika membaca artikel-artikel yang ditulis Mamanda Tjiptadinata Effendi. Sapaan Mamanda bermakna Mamak atau paman. Dalam adat Minang, figur prestisius yang mesti dituruti selain Orangtua.

Mungkin perjalanan dan pengalaman hidup yang panjang, hingga Kompasianer senior yang baru saja menjejakkan usia pada angka 78 Tahun ini, melahirkan tulisan-tulisan yang mampu mengajak pembaca pada dimensi ruang dan waktu untuk melakukan refleksi diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline