"Memaafkan, tapi tidak melupakan."
Kalimat ini, beberapa kali kubaca. Terlepas dari hal itu terlontar secara serius atau tidak, hematku narasi ini tetap bersemayam di setiap orang. Dan, hidup tak akan luput dari salah. Bisa saja diri pribadi yang melakukan kesalahan tersebut atau orang lain.
Melontarkan kata maaf akan sangat mudah. Namun, bernarkah memaafkan kemudian melupakan kesalahan itu tak hanya sekedar ucapan? Namun juga terpancar dari sikap prilaku serta pikiran?
Karena tak ada ukuran yang pasti tentang memaafkan atau melupakan. Sesungguhnya yang paling tahu itu, adalah isi hati pemberi dan penerima maaf!
Sebelum menulis tentang momen memaafkan yang berkesan, aku coba menyigi lebih dulu, 3 varian dari kalimat di atas tadi, ya? Yang acapkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Aku tulis, ya?
Memaafkan atau Melupakan?
Pertama. Memaafkan, tapi Tidak Melupakan.
Akhlaq mulia itu adalah memberi maaf, sebelum orang meminta maaf. Ajaran ini, sudah ditanamkan sejak dari lingkungan keluarga, masyarakat juga pada lembaga pendidikan.
Mampu memaafkan dan lebih dulu meminta maaf menjadi syarat setiap orang agar masuk kategori orang terpuji. Namun, ungkapan memaafkan atau meminta maaf, tak pernah seberat melupakan.
Pada cerita para sufi, sama seperti seseorang yang memaku sebilah papan. Upaya "memaafkan atau meminta maaf" ditamsilkan dengan mencabut paku. Namun, jejak lobang yang ditinggalkan dari bekas paku tersebut adalah makna "melupakan".