Menghitung mundur 10 hari Ramadan menjelang lebaran, seperti membayangkan kenikmatan sepotong daging rendang dalam kemasan Nasi Padang. Harga mahal yang membuat ngilu isi dompet, tapi bikin nagih! Hiks...
Bagi pimpinan perusahaan, idealnya jauh hari sudah mulai memikirkan "kado lebaran" buat semua karyawan, rekanan terkadang jug atasan. Baru kemudian keluarga tercinta.
Untuk orangtua, 10 hari menjelang lebaran adalam masa-masa "pertempuran" agar anggota keluarga memberikan senyuman terindah di saat idul fitri, sebagai 'balasan' perjuangan usai menjalankan puasa. Tak jarang, bagi yang full puasanya, aka nada bonus tambahan!
Bagi anak-anak. Pada hari-hari terakhir, mereka tak lagi berpikir tentang puasa. Kado lebaran yang diharapkan, bisa berbentuk pakaian baru dengan model terbaru, ibunda yang membuat atau membeli kue-kue labaran yang disukai dan dijumpai setahun sekali.
Juga membayangkan rute yang menjadi tujuan di momen lebaran. berkeliling rumah tetangga atau sanak saudara, bersalaman, meniikmati makanan dan miniman ini dan itu, saat pulang mengantongi amplop! Aduhaaaay...
Namun, masa pandemic corona ini. suka atau tidak suka, langsung atau tidak langsung keindahan itu seperti letusan balon hijau di lagu kanak-kanak, "balonku ada lima". Membuat Susana hati menjadi amat kacau!
Belanja kado lebaran, pilih belanja online atau belanja offline? Tak masalah, jika ada duit dan barangnya!
Ada 4 alasan yang bisa aku ajukan sebagai tahapan kepuasan. Aku tulis, ya? Boleh, kan?
Pertama. Semua akan murah, jika ada duitnya. Namun akan terasa mahal jika tak ada!
Ini rumus sederhana yang berlaku di mana saja atau bagi siapa saja. Bagi orang berduit, membeli mobil seharga ratusan juta bahkan milyaran, tak masalah! Wong duitnya ada, kan? Juga sah saja, saat aku lihat acara kuliner di televsi, ada yang memesan menu makanan seharga ratusan ribu, namun dicicipi sedikit, karena tak sesuai selera. Mubazir? Itu urusan lain, tah?