Lihat ke Halaman Asli

zaldy chan

TERVERIFIKASI

ASN (Apapun Sing penting Nulis)

Belajar Menghargai "Kelucuan" Anak Negeri

Diperbarui: 12 Mei 2020   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Lelaki Museum Seni (sumber gambar : pixabay.com)

"Udah buka twitter? Lagi ramai #tukangngibulnaiktahta, Bang!"

Usai maghrib, kubaca satu pesan melalui WA dari seorang teman yang suka mengamati isu-isu kekinian. Karena masih suasana berbuka, aku balas saja pesan itu dengan emoji senyuman. Tak berselang lama, kembali aku dapatkan pesan dari orang yang sama. Sesaat dahiku berkerut.

"Aku lempar ke grup, ya?"

"Untuk apa?"

"Biar..."

"Udah! Jangan ikutan jadi tukang stempel! Bahas yang lain aja, yuk?"

Tak lagi ada balasan. Pun tak ada pembahasan di WAG anak muda Kota Curup yang kuikuti. Gak tahu kalau di grup lain. Aku jadi penasaran, akhirnya kusimak cuitan netizen yang maha benar dengan segala kepintarannya. Hiks...

Reaksiku? Seperti sebelum-sebelumnya. Ada tawa, terkadang senyum sendiri, juga hadir perasaan miris plus prihatin. Ingatanku kembali pada satu puisi yang ditulis Taufik Ismail tahun 1998, kemudian judul yang sama dijadikan judul sampul buku kumpulan puisi, "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia." (Yayasan Indonesia, 2000).

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Dua baris itu, kukira menjadi reaksi senyap yang bisa kutuliskan, usai membaca cuitan dengan tagar seperti yang dikirim oleh temanku tadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline