"Keluar lagi, Nak!"
"Assalamu'alaikum, Ayaaah..."
"Wassalam, Ghantenk!"
Begitulah! Wajah anakku akan memerah, dan kembali melangkahi pintu rumah serta ajukan tangannya buat bertukar salam. Karena menyadari, masuk rumah lupa ucapkan salam. Dan, mereka tahu. Aku orang yang "ganas" urusan ucapan salam.
Mengucapkan salam, mungkin hal remeh bagi orang lain. Namun bagiku, itu adalah ajaran warisan orangtuaku. Masa kecil dulu, teman-temanku jika main ke rumah, sebelum masuk akan saling mengingatkan. "Jangan lupa ucapkan salam dan bersalaman!" Ahaaay...
Kukira, setiap orangtua, akan memilih dan memilah hal-hal baik dari keluarga besarnya, buat anak keturunannya, kan? Susah? Lumayan! Karena dulu orangtuaku juga mengajari nilai-nilai itu dengan keras! Hiks..
Aku tak membahas tentang manfaat, tujuan atau nilai-nilai yang terkandung dalam ucapan salam atau bersalaman, tapi dua hal itu, adalah "pembiasaan atau tradisi" dari keluarga besar. Kemudian aku teruskan kepada anakku.
Sekarang aku mengerti, mungkin seperti orangtuaku dulu. Ada kekhawatiran dan kecemasan besar yang hadir. Jejangan aku dan anakku, atau antar anakku akan hadir "kesenjangan" di antara mereka.
Jika tak kumulai sejak dini, kesenjangan itu akan menjadi jurang yang dalam. Ketika aku semakin tua, ketika tubuh dan tenaga semakin melemah, dan semua anak-anak sibuk dengan urusan masing-masing.
Mewariskan Tradisi Keluarga Sejak Usia Dini
Banyak kasus hadir pertengkaran antar saudara, ketika orangtua telah tiada. Bukan melulu urusan harta warisan. Kukira ada hal sederhana yang menjadi pemantik kesenjangan di dalam keluarga.
Pertama. Meregangnya komunikasi. Ikatan terkuat dalam sebuah keluarga adalah "cairnya" komunikasi dalam interaksi antar anggota keluarga. Hingga tak ada "api dalam sekam" atau "bom waktu" yang setiap saat siap meledak.
Acapkali, tersendatnya komunikasi menjadi hulu ledak perpecahan dalam keluarga. Ucapan salam yang berbalas dan sentuhan personal saat bersalaman, kukira bisa menjadi media "pencairan" interaksi antar anggota keluarga.