"Dulu, kalau mau kenal harus bertemu, sekarang cukup berteman di media sosial."
"Dulu, orangtua dan guru dan buku jadi rujukan, sekarang cukup dengan googling"
"Dulu, orangtua hanya tersenyum melihat polah anaknya dengan teman sebaya, sekarang orangtua ada juga yang main tiktok!"
Secara alamiah, hasil olah cipta, rasa dan karsa berupa kebudayaan akan membentuk peradaban. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap akan berdampak pada perubahan pemikiran dan perilaku manusia.
Perubahan itu, terkadang melahirkan "benturan" pada tataran nilai-nilai yang lebih dulu terbentuk dan berlaku dengan kondisi kekinian. Hingga memicu perbandingan yang melahirkan perbedaan. tentang dulu dan sekarang.
Tiga sikap dan perilaku pada awal tulisan hanya contoh perbandingan yang berujung pada kehadiran 'konflik" baru. Sebagian bertahan dengan nilai-nilai yang dianut dulu. Dan berusaha bijak serta beradaptasi pada perubahan "zaman now".
Namun ada juga tanpa sadar kemudian terbawa arus tren fenomena "zaman now", dengan berbagai motivasi demi sebuah pengakuan dari masyarakat.
Butuh Energi Besar Melewati Arus Deras Perubahan!
"Dasar Jadul!"
"Gak Gaul!"
"Makhluk Kudet!"
Tiga ungkapan ini, awalnya menjadi guyonan, kemudian perlahan menciptakan lahirnya kelas-kelas sosial. Orang-orang yang berucap kalimat itu, memposisikan diri "lebih baik" dari yang lain.
Kemudian menciptakan kompetisi! Berlomba menjadi yang terbaik dan terdepan dalam hal apapun. Tak hanya pada tataran nilai dan pemikiran, namun juga dan perilaku dan penampilan.
Beberapa waktu lalu ada peristiwa yang viral, saat seorang publik figur kesulitan atau tak bisa mengupas kulit buah salak. Ragam tanggapan bermunculan. Mulai dari yang membela atau malah melakukan perundungan.
Bagi Figur publik tersebut, urusan mengupas buah salak bukan hal yang sederhana. Nah, bagi orang kampung sepertiku? Menjadi aneh jika sekedar mengupas kulit salak gak bisa? Bijinya saja bisa dijadikan mainan di masa kecil! Ahaaay...