"Memaafkan itu gampang, yang sulit adalah melupakan."
Sering mendengarkan pernyataan ini? Satu kalimat yang terdiri dari tujuh kata itu, biasanya mekar dan bersemi di kawah pergaulan anak milenial, kaum rebahan juga rombongan bucin (Budak Cinta?) Benarkah?
Ternyata jika melirik kisah legenda atau cerita mitos di Nusantara, perkara memaafkan tak pernah gampang dan sesederhana ungkapan itu. Bahkan, kemarahan itu menyisakan karya-karya masterpiece!
Cerita puncak amarah seorang ibu, yang mengeluarkan kata sumpah pada anaknya yang durhaka. Adalah kisah Malin Kundang dari Tanah Andalas, yang berubah menjadi batu. Jejak kisahnya, hingga hari ini masih menjadi daya tarik wisata di Pantai Air Manis Sumatera Barat.
Di Tanah Pasundan. Romantika kisah segitiga antara Dayang Sumbi, Si Tumang (Titisan dewa yang berbentuk seekor anjing Anjing), serta anaknya Sangkuriang yang berujung amarah yang tak termaafkan. Dikisahkan, itu menjadi awal mula Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Putri.
Ada lagi? Di Tanah Jawa, Candi Sewu dan Candi Prambanan adalah prasasti sejarah. Namun terselip legenda kisah "pengkhianatan" Rara Jonggrang, dan menjadi saksi sekaligus bukti amarah dari Raden Bandung Bondowoso.
Tiga kisah ini. Terlepas apatah hanya dongeng atau mitos. Menyibak hikmah dan pembelajaran. Bahwa memaafkan itu, tak pernah mudah. Dan tak segampang meminta maaf. Iya, kan?
Bukan Kuasa Kita, Menghapus Masa Lalu
Banyak kejadian dan tragedi yang berujung tragis. Hanya bermula dari enggan berucap kata maaf. Satu kata yang diharapkan menjadi "obat mujarab". Agar amarah akibat kesalahan yang telah dilakukan, tak memacu dan memicu dendam yang berujung pertumpahan darah.
Namun, hal ini sulit sekali. Beberapa ahli hikmah menggambarkan. Kesalahan adalah seperti sisa tancapan sebuah paku pada sehelai papan. Kita bisa membuang paku itu, namun tak pernah bisa menghapus jejaknya. Artinya, bukan kuasa kita, menghapus masa lalu, tah?