"Keren! Anak Ayah juara!"
"Cuma juara 3!"
"Besok kita ke kolam renang, yuk? Belajar berenang!"
"Gak mau! Nanti tenggelam!"
"Wah, Indahnya rambut anak ayah!"
"Tapi gak hitam! Rambut teman sekelasku. Lebih panjang dan hitam!"
Ini hanya rekayasa percakapan antara ayah dan anak. Ada tiga pernyataan positif sang ayah, dijawab secara negatif.
Pertama, anak menolak pujian orangtua. Kedua, anak menghidari hal baru atau tantangan, Ketiga, bereaksi negatif terhadap kemampuan atau penampilan diri sendiri.
Dalam konsep parenting. Ketiga reaksi tersebut bisa jadi merupakan tanda-tanda. Bahwa orangtua terjebak dalam posisi sebagai orangtua beracun (toxic parents).
Jika menggunakan bahasa lugas, tanpa disadari, orangtua telah meracuni mental yang berpengaruh pada sikap perilaku anak. Kok bisa?
Awalnya, Semua Orangtua Pasti Ingin Anaknya Bahagia
Apa keinginan orangtua terhadap anak? Maka akan ditemui jawaban yang seragam dari orangtua. Bahwa keinginan setiap orangtua, adalah bagaimana anaknya meraih bahagia, tumbuh dengan raga yang kuat dan memiliki jiwa yang sehat.
Terkadang, tujuan mulia orangtua untuk memberikan kebahagiaan kepada anak, malah berbading terbalik. Justru mengundang bahaya bagi anak di masa depan.
Tak sedikit orangtua yang merasa telah memenuhi kewajibannya, jika telah memenuhi kebutuhan materil selain kebutuhan pokok. Semisal uang jajan, mainan, kendaraan dan hal lain bersifat materil.
Dan banyak orangtua, dengan alasan sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga atau memiliki tanggungjawab sosial lainnya. Maka mengabaikan kebutuhan immateril dari anak. Semisal sapaan, pelukan hangat, kepedulian bahkan kasih sayang.
Namun seringkali ditemukan ragam kisah dan kegelisahan orangtua. Padahal sudah melakukan apapun untuk buah hatinya. Kenapa bisa begitu?