Lihat ke Halaman Asli

zaldy chan

TERVERIFIKASI

ASN (Apapun Sing penting Nulis)

Media Sosial sebagai Lahan Aksi Sosial, Kenapa Tidak?

Diperbarui: 5 Januari 2020   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pxhere.com

"Sikap yang tidak bijak, Saat terjadi bencana banjir, menyikapinya dengan menyigi kesalahan dari sebuah kebijakan.  Karena sependek pemahaman saya, banjir dan longsor merupakan bencana yang tidak lepas dari kesalahan manusia. Baik individu maupun pembuat kebijakan."

Narasi di atas, kuambil dari status salah satu temanku malam tadi di facebook. Bisa jadi, merasa capek, bosan hingga cenderung muak sampai tumpah-tumpah. Ketika membaca seliweran tanggapan yang dianggap nyinyir berkaitan banjir. Khususnya yang melanda Ibu kota Jakarta.

Kukira, hal ini juga dialami oleh banyak pemilik media sosial. Di luar konten dan konteks serta afiliasi politik, akupun menemukan narasi-narasi "ajaib", sebagai pengganti jari telunjuk! Arahnya, tentu saja gugatan pada sikap penguasa dan pemangku kebijakan.

Aku sepakat, harus ada kebebasan mengekpresikan satu fenomena yang terjadi. Apakah melalui tulisan, ulasan atau komentar. Itu hak masing-masing. Namun, menurut hematku, alangkah eloknya membangun narasi yang bermakna simpati atau empati.

Tunjukkan Empati, Jika Tak Mampu Memberi

Saat malam pergantian tahun, aku sempat berkomunikasi dengan salah seorang Kompasianer, Mbak Leya Cattleya. Awalnya hanya ingin menyapa dan ucapkan selamat tahun baru. Lama dan nyaris dini hari, baru chat-ku dibalas.

Tak kuduga, Selain permohonan maaf terlambat membalas, beliau menuliskan. Jika sedang membantu ibunda yang sudah sepuh, untuk dipindahkan ke lantai dua. Karena rumah beliau di kawasan Jakarta Timur terkena dampak banjir.

Biasanya kalau chat saling berbalas dengan guyonan renyah. Dini hari itu, aku kehilangan topik pembicaraan. Secara kapasitas, pengetahuan Mbak Leya lebih mumpuni dan aku percaya beliau mampu mengatasi situasi itu. 

Tak lagi ada kalimat lain. Kecuali ucapan, "semoga selalu sehat dan ikut prihatin serta teriring doa."

Pagi kemarin di WAG, juga Kompasianer sekaligus seorang guru Mbak Erina Purba yang tinggal di Bekasi. Menulis kesedihannya, mendengar cerita dari siswa. 

Karena buku pelajaran mereka basah dan hancur terkena banjir. Tanggapan anggota grup juga luarbiasa. Setiap anggota menuliskan rasa simpati, empati juga doa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline