Usai gerimis yang hadir sore itu. Aku mengunjungimu. Hanya aku, Abang juga sepi yang menemani sunyi. Langit masih betah berselimut mendung.
Kukira, Abang pasti mengerti. Tak perlu kuujarkan, ketika motor biru itu bertukar arah. Sore itu, Aku ingin Abang mengunjungimu, sebelum kedua kakinya melangkah jauh. Mengukir sketsa mimpi yang ia miliki.
Kelopak layu mawar merah, tak lagi berwatna merah jambu. Abang duduk terdiam di sisiku.
"Abang laki-laki, kan?"
"Hah?"
"Ayah percaya Abang!"
Sekilas, mata yang selalu mengingatkanku adamu, menatap wajahku. Hanya sesaat, dan kembali mengeja ukiran namamu yang terpahat bisu lalui waktu.
"Jaga diri!"
"Iya, Yah!"
"Jangan memulai dari salah!'
"Iya..."
"Ingat dan doakan ibu!"
Wajah Abang tertunduk. Kurasakan, Abang akhirnya tahu alasanku. Sore itu,, kenapa sengaja kuajak pergi bersamaku. Mengunjungimu.
Kau tahu? Dua tahun terakhir, tak banyak kalimat yang kuujarkan untuknya. Walau Abang tak pernah berucap itu, aku tahu, ia ingin mengukir jalannya sendiri.
Aku tak tahu. Apakah kau akan sepertiku. Membiarkan Abang mengeja asa dengan cara yang diinginkannya. Melepas jauh dari penjagaan mataku, mengukur jarak yang berbatas ruang dan waktu. Kuharap, kau pun sepertiku.
"Abang tahu, Ayah dulu seperti Abang, kan?"
"Iya."
"Tak perlu memaksa diri!"
"Iya, Yah!"
"Ayah tak peduli hasil! Belajarlah hidup mandiri!"
"Iya."
"Jangan pernah curang! Lakukan semampu Abang!"
"Iya, Yah!"
Abang mengerti kalimat itu. Pun mengerti nada suara yang terucap dari mulutku. Kau tak akan pernah tahu! Bagaimana kuredam rasa untuk ujarkan itu.