"Manusia dilahirkan bebas, tapi dimana-mana mendapatkan dirinya terbelenggu" JJ. Rousseau.
Seorang anak terlahir fitrah dengan segala ketelanjangannya. Tak hanya secara fisik namun juga psikis. Dan menjadi tugas orangtua mendisain blueprint anaknya, hingga anak tersebut mampu membuat alurnya sendiri.
Blueprint tersebut, bukanlah sebuah hipotesa yang dibuat berdasarkan ilmu kiramologi. Tetapi, jamaknya merupakan sebuah analisa dari orangtua. Menjadi sebuah refleksi dari pengalaman, pengetahuan dan penemuan yang dialami dan dilalui selama hidup.
Bisa saja, hal itu kemudian melahirkan sebuah sintesa, bahwa anak akan berhasil jika mengikuti jalur yang pernah dilalui orangtuanya. Atau malah membuat antitesa, meracik jalur baru, agar anak-anaknya tak mengalami hal pahit yang dialaminya.
Terkadang, Tak Sejalan dan Penuh Perjuangan
Berpijak dari tahapan-tahapan itu, orangtua dianggap seakan-akan "memaksa" anak-anaknya sesuai keinginan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Pada awalnya, anak akan mengikuti blueprint itu, hingga ketika menghadapi perbedaan ruang dan waktu, anak-anak tersebut menyadari dan mendapatkan diri mereka terbelenggu.
Balik lagi pada deret kalimat milik JJ Rousseau di atas, ya? Ungkapan itu, bukan saja berarti bahwa setiap orang secara alamiah bebas, namun masyarakatlah yang mengekangnya dalam berbagai ikatan. Seperti tata nilai atau normatif yang tumbuh dan hadir disekitarnya.
Begitu juga kebebasan si anak saat mengekplorasi diri, dalam ramuan dan ikatan blueprint yang dibuat orang tuanya. Namun kemudian kebebasan itu bermakna abstrak, saat anak merasa mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua.
Ada ruang-ruang konflik yang kemudian bakal terjadi. Ketika si anak merasa tertekan akan aturan dasar yang dibuat orangtuanya. Merasa tak ada keadilan saat menemukan rekan sebaya yang ternyata memiliki aturan dasar berbeda. Hingga hadir pemberontakan kecil bahkan membesar dengan ungkapan, orangtua mereka melakukan faham otoriterisme.