"Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah diam. Sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia dan mercusuar yang dipancang di samudera waktu" Barbara Tuchman (1989).
"Ayah! Bilang Ustazah, Uni diminta nulis puisi. Biar dibukukan!"
"Hebat!"
"Kakak juga, Yah!"
"Hah?"
Ini petikan percakapan di atas motor dua hari lalu. Saat menjemput kedua anakku pulang sekolah. Uni Tya kelas 6 dan Kakak Rizqy kelas 4 Sekolah Dasar. Si Uni, memang sudah mulai suka merangkai kata. Menulis puisi juga mengisi diary. Sejak kelas 3 SD, sudah 4 buku diary yang kubeli. Lah Kakak? Sependektahuku, boro-boro menulis. Diajak membaca saja susah! Haha..
Tenyata, ada program sekolah, siswa diminta menulis puisi dan diterbitkan berbentuk antologi puisi. Pada siswa dibebankan uang 40 ribu. Tentu saja aku gak punya pilihan jawaban selain setuju, kan? Anakku termotivasi dan bahagia. Gampang amat punya buku, ya? Dalam hati, si Ayah malah mikir dan berujar. Umur segini gak pernah terbitkan buku. Hiks...
Curhat? Galau? Merasa kalah dari anak? Bisa jadi! Aku jadi ingat diskusi belasan tahun lalu. Dari pertemuan "Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra" yang digawangi Horison dan Depdiknas (Sekarang Kementerian Pendidikan Nasional) pada pertengahan agustus 2004 di kawasan puncak Bogor.
Ada beberapa buku diberikan kepada semua peserta, langsung dari pengarangnya. Yang aku ingat, semisal O Amuk Kapak-nya Sutardji Chalzoum Bahri dan Malu Aku Jadi Orang Indonesia karya Taufiq Ismail. Plus beberapa buku non fiksi. Salah satunya Terbitan Universitas Yogyakarta tahun 2003.
Kenapa kegiatan itu dilakukan? Apa kaitannya dengan cerita anakku yang akan ikut dalam antologi puisi tersebut? Aih, Aku ceritakan saja, ya?