Apa yang dirasakan jika dirimu di kelilingi 10 orang anak usia SD dan berbincang tanpa hambatan dengan menggunakan tiga bahasa daerah berbeda? Lalulintas percakapan menggunakan bahasa Rejang, Sunda dan Jawa tersaji begitu lugas. Bagiku? Sesuatu yang luar biasa!
Perasaan itu, yang kurasakan saat pertama jejakkan kaki di Desa Ketenong pada bulan Juli tahun 2004 atawa nyaris Limabelas tahun lalu. Desa Ketenong berada di pinggiran kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), masuk area Kecamatan Pinang Belapis Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Masih daerah terpencil, belum dimasuki listrik, Bisanya dilalui Kendaraan roda dua. Jika ada mobil, mesti kendaraan yang istimewa. Itupun trayeknya. Hanya satu kali, satu hari. Jika ingin pulang, mesti tunggu besok. Jadi, Kondisi desa itu mesti kuujarkan dulu haha...
Secara geografis, Desa itu terletak di daerah yang menggunakan bahasa Rejang. Secara demografis, desa itu dihuni oleh suku Jawa dan suku Sunda.
Tentu saja menggunakan bahasa asal daerah masing-masing dalam tutur sehari-hari. Akibat asimilasi budaya serta keterbatasan akses "dunia luar". Maka budaya tutur keseharian di desa itu di dominasi tiga rumpun bahasa tersebut.
Bahasa ibu sebagai bahasa pertama dalam keluarga bisa diabaikan. Ketika orang tua sibuk ke ladang pergi pagi pulang sore. Dan anak-anak lebih banyak berinteraksi di lingkungan sekitar rumah.
Jangan heran, kemudian Anak-anak lebih menguasai bahasa atau dialek yang bukan dari bahasa ibunya.
Di Ketenong, akan dijumpai anak-anak keturunan Minang atau Batak, tak mengerti jika diajak bicara bahasa Minang juga Batak. Karena orang tua mereka "dipaksa atau terpaksa" menggunakan bahasa yang digunakan di Desa itu. Bisa saja kumaknai, menguasai bahasa itu "untuk bertahan". Haha lebay, ya?
Ternyata, Pembangunan Jalan dan Aliran Listrik Berpengaruh pada Penguasaan Bahasa Ibu.
Lima tahun lalu, setelah Akses jalan dibuka, walaupun belum aspal mulus. Memperlancar kegiatan Masyarakat desa. Orang-orang dari luar desa, semakin mudah datang ke Ketenong. Awalnya untuk bertransaksi hasil pertanian dan perkebunan. Maka perlahan terjadi infiltrasi "budaya asing". Termasuk berbahasa.
Masuknya listrik, diiringi perkenalan denga alat-alat elektronik semisal televisi plus VCD Player dan parabola, radio serta handphone menambah asupan "budaya asing" bagi warga desa.
Pun perlahan, anak-anak muda sudah meninggalkan bahasa Rejang, Sunda dan Jawa. Berganti dengan bahasa melayu dan bahasa Indonesia bercampur "bahasa gaul".