[caption caption="Hutan akasia di Riau (sumber: mongabay.co.id)"]Sebagian besar wilayah di Indonesia tengah memasuki musim hujan, dan sebagian dari wilayah tersebut mengalami bencana banjir. Seakan bencana telah menjadi penanggalan rutin kita. Hujan identik dengan banjir, kemarau lekat dengan kebakaran.
Dan seperti biasa kita baru terhenyak, menaruh perhatian lebih ketika bencana telah terjadi. Padahal, semestinya kita antisipasi bencana dari jauh hari. Banjir memang sudah hadir di depan mata sebagian masyarakat, di antaranya Riau, Bangka Belitung, dan Sumatera Barat.
Setelah banjir, apalagi? Kita ingat tahun kemarin selepas geger banjir awal tahun datanglah bencana asap akibat kebakaran hutan. Ya, kebakaran yang pada 2015 lalu sampai membuat negera tetangga seperti Malaysia dan Singapura ikut merasakan dampaknya berupa limpahan asap yang sangat mengganggu.
Bila membicarakan akar permasalahan kebakaran hutan, alangkah rumitnya. Aspek yang melingkupi mulai dari sosial-budaya, politik, ekonomi, dan lingkungan saling tumpang tindih. Apalagi jika hendak menuding siapa yang paling bertanggung jawab. Rasanya tidak akan ada habisnya.
Salah satu NGO paling terkemuka yang menyuarakan isu kebakaran hutan baik tingkat regional maupun global adalah Greenpeace. Ya, NGO hijau yang didirikan di Kanada sejak tahun 1971 ini dapat dikatakan sebagai salah satu pihak paling terkemuka dalam mengangkat isu lingkungan.
Ketika kita buka website Greenpeace versi Indonesia kita akan dapati berbagai jenis isu lingkungan yang disorot oleh NGO yang berkantor pusat di Amsterdam, Belanda ini. Mulai dari isu pemanasan global (global warming), kelestarian flora dan fauna, pencemaran air, tanah, dan udara, juga tentunya kebakaran hutan.
Salah satu yang menarik perhatian adalah ketika saya menemukan laporan penyebab dan solusi kebakaran hutan 2015 oleh Greenpeace. Jika dicermati, betapa banyak variabel penyebab kebakaran dengan rentang waktu yang panjang, yaitu puluhan tahun ke belakang.
Greenpecae menyebut baik pemerintah, masyarakat lokal, dan perusahaan perkebunan masing-masing memiliki andil dalam pencegahan dan solusi kebakaran hutan.
Yang cukup menarik bagi saya adalah bagian perusahaan perkebunan. Yang selama ini tertanam di benak masyarakat luas bahwa pihak perusahaan perkebunan lah sebagai biang keladinya. Namun nyatanya faktanya tidak selalu seperti itu.
Rumor yang beredar bahwa kebakaran disengaja untuk membuka lahan mungkin dalam beberapa kasus memang benar adanya, misalnya dalam konteks perkebunan kelapa sawit. Namun bagi perusahaan Hutan Tanaman Industri, misalnya pulp dan kertas, hal ini tidak berlaku.
Ketika terjadi kebakaran besar pada September 2015 lalu, perusahaan kertas turut menjadi pihak yang mengalami kerugian dalam skala besar. Pasalnya bahan baku utama industri kertas adalah pohon akasia, yang pada waktu kebakaran dalam kondisi siap panen. Dilaporkan jutaan pohon akasia turut terbakar hingga mengganggu rantai produksi kertas.