Lihat ke Halaman Asli

Politik dan Identitas Nasional di Thailand Pasca-Kolonial: Dampak Perang Dingin dan Modernisasi 1950-1970

Diperbarui: 21 Desember 2024   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang berhasil mempertahankan kemerdekaannya di tengah gelombang kolonialisme barat. Meskipun tidak pernah dijajah secara

langsung, Thailand tetap dipengaruhi oleh dinamika global, khususnya pada era pasca kolonial antara tahun 1950 hingga 1970. Periode ini merupakan masa penting bagi Thailand untuk lebih memperkuat kedaulatannya di tengah tekanan internasional dan regional, terutama selama terjadinya perang dingin. Posisi strategis Thailand membuatnya menjadi pusat perhatian kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang bersaing untuk memperluas pengaruh mereka di kawasan. Dalam upaya menghadapi tantangan politik global dan regional, Thailand juga mengalami modernisasi yang pesat. Transformasi ini tidak hanya mengacu pada pembangunan ekonomi, tetapi juga mengacu pada aspek budaya dan sosial.

Transformasi modernisasi di Thailand, yang dimulai di bawah pemerintahan Pridi Banomyong dan dilanjutkan oleh militer, membawa perubahan drastis dalam struktur sosial. Modernisasi tidak hanya mencakup ekonomi, tetapi juga budaya. Masyarakat mulai terpapar pada arus globalisasi, yang membawa nilai-nilai Barat. Melalui pembangunan infrastruktur dan pendidikan, identitas nasional mulai beradaptasi dengan norma-norma modern, menciptakan ketegangan antara tradisi dan modernitas. Pada akhir dekade 1960-an, muncul gerakan mahasiswa yang mencerminkan ketidakpuasan terhadap keadaan politik. Mahasiswa mulai aktif dalam menuntut reformasi sosial dan demokrasi. Puncaknya adalah demonstrasi di Thammasat University yang menuntut pengakhiran pemerintahan militer. Gerakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan mengekspresikan harapan akan identitas nasional yang lebih demokratis.

Modernisasi dan globalisasi memunculkan konflik identitas di Thailand. Di satu sisi, masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai lokal dan tradisi; di sisi lain, mereka terpengaruh oleh budaya pop Barat yang semakin mendominasi. Proses ini menyebabkan fragmentasi identitas nasional, ketika orang-orang mulai memilih mana yang akan diadopsi atau ditolak. Penekanan pada nilai-nilai budaya Thailand, seperti kebanggaan terhadap monarki dan tradisi, berusaha dipertahankan dalam menghadapi globalisasi. Budaya populer di Thailand mulai berkembang sebagai respons terhadap perubahan sosial. Film, musik, dan seni tidak hanya mencerminkan nilai modern , tetapi juga berfungsi sebagai medium kritik sosial. Karya-karya seni dan budaya untuk membentuk narasi identitas nasional yang mencakup keberagaman dan aspirasi sosial. Munculnya film-film yang menyoroti perjuangan sosial dan kritik terhadap rezim menunjukkan bagaimana seni dapat menjadi alat untuk mengekspresikan identitas.

Perkembangan modernisasi di Thailand dari tahun 1950-1970, telah menjadikan Thailand mengalami dinamika kompleks antara politik, modernisasi, dan identitas nasional. Hubungan dan juga dampak dari adanya perang dingin, gerakan mahasiswa serta pengaruh globalisasi telah menciptakan tantangan bagi masyarakat dalam membentuk identitas nasional yang kuat dan juga inklusif. Maka dari itu periode ini juga menjadi salah satu periode yang sangat krusial dalam memahami evolusi identitas nasional Thailand dalam konteks post-kolonial.

Pada akhir tahun 1950-1970, negara-negara di Asia Tenggara dihadapkan oleh tingginya dinamika perang dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur yang memperebutkan pengaruhnya terhadap kawasan Asia tenggara. Perang Dingin ini memberikan dampak yang serius karena menimbulkan banyak perubahan, baik itu di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya di negara-negara kawasan Asia Tenggara, termasuk Thailand. Di tengah situasi internasional ini, Thailand menjalani modernisasi yang melibatkan pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya.

Modernisasi Thailand yang dimulai di bawah Pridi Banomyong dan dilanjutkan oleh pemerintahan militer membawa perubahan besar dalam struktur sosial. Globalisasi memperkenalkan nilai-nilai Barat yang menciptakan ketegangan antara tradisi lokal dan norma modern. Sehingga perubahan ini memunculkan konflik identitas di kalangan masyarakat, di mana masyarakat harus memilih antara mempertahankan tradisi atau menerima nilai-nilai modern. Meskipun demikian, nilai-nilai budaya Thailand, seperti kebanggaan mereka terhadap monarki, tetap dijaga untuk menghadapi arus globalisasi.

Demonstrasi di Thammasat University menuntut reformasi demokrasi, mencerminkan aspirasi masyarakat untuk identitas nasional yang lebih inklusif dan demokratis. Gerakan ini menandai kebangkitan generasi muda dalam memperjuangkan perubahan sosial-politik. Dibidang seni dan budaya berkembang juga sebagai respons terhadap modernisasi. Film, musik, dan seni digunakan untuk mengkritik struktur sosial, mengangkat isu sosial, dan membangun narasi identitas nasional yang mencerminkan keberagaman serta aspirasi masyarakat. Periode ini menjadi fase krusial dalam sejarah Thailand, di mana tantangan global dan internal memengaruhi pembentukan identitas nasional. Proses modernisasi ini tidak hanya mencerminkan dinamika politik dan sosial, tetapi juga perjuangan Thailand untuk menciptakan identitas yang kuat, dan relevan dalam konteks post-kolonial.

Referensi: 

Airlangga, T. (2020) ‘Prinsip Non-Interference ASEAN dalam Perang Dingin (1970-1990)’, Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 3(2), pp. 145–154. Available at: https://doi.org/10.17509/historia.v3i2.23126.

Chris Baker, P. P. (2013). A History of Thailand. Bangkok, Chulalangkorn: Pers University Cambridge.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline