Lihat ke Halaman Asli

Memadukan Formalitas dan Kualitas Pelajar Pesantren

Diperbarui: 7 Oktober 2015   03:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pesantren sebagai salah satu  lembaga pendidikan di Indonesia, telah banyak berjasa dalam membangun Negara dan mencerdaskan bangsa. Pesantren memiliki sistem pendidikan dan kaderisasi santri yang agak berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren dari masa ke masa selalu memperbaiki sistem pendidikannya, sehingga pendidikan yang ada di pesantren diharapkan bisa sesuai dengan perkembangan zaman.

Kalau ditelisik, saat ini pesantren banyak mengalami kemajuan, baik dibidang pendidikan, kesenian dan pemikiran. Sebagian besar pesantren telah menyadari bahwa tidak hanya pendidikan agama saja yang perlu dipelajari, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi ilmu-ilmu umumpun harus dipelajari. Sebagian besar pesantren di Indonesia telah menyadari kenyataan ini. Terbukti  pendidikan yang dikelolah oleh sebagian pesantren saat ini, yang tidak hanya memberi kesempatan kepada santri untuk belajar ilmu agama, akan tetapi juga menyediakan sekolah-sekolah ataupun fakultas-fakultas yang fokus terhadap ilmu umum, seperti adanya SMK, AMIKI, APERIK & AKBID. Semua itu tetap  harus diimbangi dengan pengetahuan agama yang mendalam. Ini dibuktikan dengan kewajiban dari pesantren agar semua santri bisa  membaca kitab, mampu membaca al-Quran dengan baik dan berakhlakul karimah.

Itu semua semata-mata untuk menambah wawasan dan kualitas santri agar tidak awam dalam hal-hal yang sebenarnya telah banyak dipelajari oleh para pelajar di luar pesantren. Dan hal tersebut merupakan kualitas plus yang dimiliki oleh pelajar dipesantren. Di samping itu, ada manfaat lain yang bisa membantu para lulusan pesantren agar bisa mudah diterima di lembaga-lembaga pendidikan, dakwah, pemerintahan serta perusahaan. Kenapa demikian?, karena tidak dapat dipungkiri, saat ini bangsa Indonesia belum siap untuk mendahulukan subtansi dari pada selembar kertas ijazah yang hanya merupakan “fomalitas” yang kadang kali bisa diperjualbelikan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dengan adanya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di pesantren yang diakui oleh pemerintah, maka setelah lulus, di samping membawa pulang ilmu juga bisa membawa pulang ijazah yang membuktikan bahwa memang ahli di bidang pendidikan yang ditempuh,. Tentunya dengan tetap mempunyai niat bahwa bersekolah atau berkuliah adalah untuk Lii`lai Kalimatillah, menghidupkan ilmu agama juga menghilangkan kebodohan.

Saat ini ijazah bagaikan mukjizat pada masa Rasul. Dulu ketika ada seorang utusan Allah yang mengaku sebagai Rasul di tengah-tengah kaumnya, maka dia harus membuktikan bahwa ucapannya benar, yaitu dengan mukjizat. Sama halnya dengan seorang yang mengaku bahwa ahli di bidang ekonomi, misalnya, maka untuk sekarang harus membuktikannya dengan ijazah.

Ada satu hal lagi yang banyak dilupakan oleh sebagian pelajar yang ada di pesantren, yaitu tradisi membaca dan menulis. Dua hal ini adalah penuntun agar bisa menjadi manusia yang kreatif dan respon terhadap masalah-masalah kemasyarakatan yang ada disekitarnya. Dengan membaca akan mengetahui bagaimana perjuangan nabi di dalam menyebarkan islam, dengan membaca akan mengetahui bagaimana sedihnya baginda Nabi ketika ditinggal oleh dua orang yang sangat beliau cintai yaitu pamannya Hamzah dan istri beliau Sayyidah Khodijah, dengan membaca, kita akan mengetahui bagaimana perjuangan para Ulama Indonesia di dalam membangun pesantren, mendidik, mengayomi dan mengajar santri. Dan masih banyak lagi manfaat membaca yang tidak mungkin untuk di tulis seluruhnya di sini.

Ketika kita sudah hobi membaca, maka akan memiliki wawasan yang lebih luas. Ini bisa dijadikan modal untuk kreatif di dalam menulis. Menulis pada saat ini sangat diperlukan. Untuk lulus S1, kita harus bisa menulis, untuk lulus S2, kita harus pandai menulis, begitu juga ketika ketika ingin lulus S3, bahkan jika ingin jadi profesor, dituntut untuk menghasilkan karya tulis ilmiah, yang tentunya memiliki bobot yang tinggi.

Disamping itu tulisan itu juga bisa di jadikan media dakwah, karena dakwah tidak harus bil-kalam tapi juga bisa bil-qolam bahkan bisa memberikan manfaat lebih luas. Lalu apakah masih belum sadar?, mengapa Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Hambali, Imam Ghozali, Imam Asy`ari dan ulama`-ulama` yang lain pemikirannya masih ada dan dikaji sampai sekarang. Jawabannya adalah karena mereka kreatif dalam menulis pemikiran cemerlangnya di dalam sebuah kitab sebagaimana yang telah kita lihat saat ini. Jika memang ingin mengikuti jejak langkah mereka, maka jangan cuma pemikirannya diikuti tapi kreativitas mereka di dalam menulis juga patut diteladani.

Oleh karena itu, jika ingin menjadi santri yang Sholihun Li kulli Zamanin Wa Makanin maka disamping adanya niat yang benar dan prilaku yang bermoral, harus melengkapinya dengan tiga hal yaitu adanya kualitas, kreativitas dan formalitas. Tentunya semua itu akan didapatkan melalui perjuangan keras dan cita-cita yang tinggi. Hasil itu bukan segala-galanya, karena yang terpenting adalah bagaimana berproses untuk bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya. Salah dalam hasil itu biasa asalkan prosesnya sudah benar akan tetapi salah dalam proses itu merupakan tindakan yang tidak bisa  ditolerir. Semoga kita semua bisa menjadi kader-kader yang bisa memperbaiki bangsa dan menjaga kemurnian ajaran agama. Amin,  wallahu `Alam bi al-Showab.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline