Lihat ke Halaman Asli

Demo

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selain demo masak, yang akrab di telinga saya adalah kata demontrasi. Definisi demo menurut saya (yang jarang demo) adalah menyuarakan pendapat dengan membawa sound sytem atau TOA serta sebanyak mungkin atribut dan massa,sehingga demo juga sering disebut aksi massa. Adapun istilah-istilah yang dekat dengan demo (seingat saya) antara lain: simulasi aksi, teklap, korlap, orator, press release, chaos dll.  Konon, sebagai mahasiswa jika tidak karib dengan demo, maka dipertanyakan kemahasiswaannya.Apalagi jika ia mengaku sebagai mahasiswa aktivis. Dan katanya, pada tahun 1998 dulu, demo mahasiswalah yang berhasil menggulingkan pemerintahan tiran Soeharto. Harus saya pakai kata ‘katanya’ karena pada tahun 1998 saya masih SD dan selama ini cuma mendengar cerita dari mulut ke mulut, melihat video, dan foto.

Begitulah, demo selalu identik dengan mahasiswa yang dilabeli penyambung lidah rakyat, jembatan antara yang ‘di atas’ dan ‘di bawah’. Orang tua sering khawatir jika anaknya ikut demo. Karena di tahun 1998 ada yang tewas gara-gara ikut demo. Atau minimal luka-luka, lebih minimal lagi kepanasan dan kecapean. Demo untuk beberapa isu penting juga rawan. Kerap ada bakar-bakar. Salah-salah para peserta unjuk rasa atawa demo ini bisa ditangkap dan dipenjarakan karena melakukan tindakan subversif.

Saya punya contoh teman yang dipenjara karena demo. Sebut saja namanya Faiz. Saya mengenal Faiz di sebuah forum diskusi kebudayaan. Ia dipenjara enam bulan gara-gara membakar mobil saat demo menolak kenaikan harga BBM di depan istana negara. Tapi ia tetap tenang meski dijebloskan ke sel. Bahkan saat ia bebas ia menunjukkan kepada saya 100 helaman pledoi yang ia tulis selama dipenjara. Uniknya lagi, meski berlabel aktivis dan pernah dipenjara ia lulus di semester sembilan. Lumrahnya, mahasiswa aktivis, apalagi tukang demo, lulus di semester las-lasan, alias 11, 12, 13 atau 14. Alih-alih membuat mereka malu, lulus dengan semester makin tinggi justru makinmembuat mereka bangga. Gelar mahasiswa abadi tersemat di pundak mereka.

Belum lama, kita mendengar ribut-ribut soal pernyataan Sutan Batugana yang kontroversial tentang almarhum Gus Dur. Pernyataan itu dilontarkan di sebuah seminar. Saya tidak tahu pasti wujud pernyataan itu. Pasalnya saya tidak hadir di seminar. Adapun yang disampaikan media, kadang-kadang meragukan. Anda tahu, media massa hari paling pintar memutar kata-kata. Satu yang pasti, pernyataan itu dianggap menghina Gus Dur. Minyak ketemu api, Sutan Batugana satu panggung dengan Adhie Massardi (orang dekat Gus Dur). Di sanalah bermula keributan. Adhie Massardi menuntut Sutan Batugana minta maaf. Namun Sutan tidak berkenan karena menganggap dirinya tidak menghina siapapun. Warga NU beraksi, mahasiswa PMII tidak terima, dan seterusnya, dan seterusnya, bla bla bla.

Pungkas cerita, Sutan Batugana minta maaf dan cium tangan istri Gus Dur. Tapi saya tidak ingin menyasar polemik itu. Apalagi menyasar Sutan Batugana. Jauh hari saya sudah menulis esai singkat dengan judul Panggung. Di esai itu menyebut nama Sutan Batugana. Ya, saya menganggap orang seperti Sutan Batugana itu cuma cari panggung. Dia itu tukang caper, make noise, dan senang bikin sensasi. Cek saja pernyataan dia: ngeri-ngeri sedap, sudah selesai tu barang.Nah, dari situ sebenarnya sudah bisa dilihat kualitas mulut dari politisi Partai Demokrat itu. Dan, Anda tahu, media menyukai dia. Menyukai yang suka buat gaduh. Semakin gaduh semakin tinggi rating.

Saat ribut-ribut Sutan Batugana, saya mendapati sebagian dari teman satu organisasi saya berlaku reaksioner dan buru-buru menggelar demonstrasi depan kampus. Melihat hal itu, hati kecil saya mengatakan ketidaksepakatan. Demo itu berjudul ‘Mengutuk Sutan Batugana’. Saya bingung, mereka ingin membela Gus Dur, tapi dengan cara mengutuk. Benarkah cara itu? Andaikata Gus Dur masih hidup boleh jadi beliau juga akan melarang demo itu. Bukankah Gus Dur pernah menulis buku Tuhan Tidak Perlu Dibela. Nah, logikanya, jika Tuhan saja tidak perlu dibela, apalagi Gus Dur, kata hati saya. Entah benar entah salah.

Lewat tulisan ini saya tidak ingin mengecilkan orang-orang yang turun aksi mengecam Sutan Batugana dan membela Gus Dur. Saya pun kesal dan marah dengan pernyataan Sutan Batugana itu. Tapi ekspresi kemarahan dan kekesalan saya berbeda dengan mereka. Yang saya sayangkan dari teman-teman saya yang ikut demo adalah mereka mereka menjadi demonstran buta. Ya, mereka datang sekadar datang. Tidak tahu betul isunya apa dan apa yang sedang diperjuangkan. Seolah kosong. Dalam konteks ribut-ribut Sutan Batugana, teman-teman saya para demonstran itu tidak paham (atau minimal tahu) apa itu Bulogate, Bruneigate, dekrit Gus Dur dan peristiwa turunnya presiden nyentrik itu.

Saya tidak menyalahkan teman-teman saya. Saya pun percaya jika demo juga merupakan salah satu cara menyuarakan aspirasi. Jika semua ademayem saja justru jadi tanda tanya besar. Contoh konkretnya adalah zaman Pak Harto. Meski begitu, demo harus menempuh cara-cara yang semestinya. Setahu saya, sebelum demo diawali dengan diskusi atau semacam sharing bersama soal isu yang diangkat. Lalu ada teklap, membahas teknis di lapangan. Sehingga semua tidak grasak-grusuk dan asal tabrak.

Saya hanya berharap, demo yang dilakukan itu tidak mereduksi makna demo itu sendiri. Salah satu contoh mereduksi makna demo adalah demo bayaran. Saya pernah ikut demo bayaran. Sebetulnya lebih karena rasa tidak enak dengan teman saja. Makanya saya ikut. Sekaligus biar pengalaman. Korlap menjelaskan kepada saya seusai demo jika demo yang kami lakukan itu memang pesanan. Salah seorang pejabat di Senayan. Jadi bukan murni inisiasi kawan-kawan yang dilandasi sebuah kegelisahan akan suatu persoalan. Usai demo saya dapat sebungkus nasi padang gratis. Kawan-kawan lain bahkan dapat bonus rokok. Tahu sama tahu dan senang sama senang.

Bicara soal demo, saya jadi ingat tweet Ulil Abshar Abdala di akun twitternya @ulil. Akan saya kutipkan sekaligus menutup tulisan ini. Surat kepada demonstran: Zaman kepahlawanan sudah lewat, Tuan. Teriakanmu berpacu dengan deru knalpot dan asap kendaraan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline