Lihat ke Halaman Asli

Zakky Elfatih

Rationally, empathy, faith

Primordialisme, Etnosentrisme, dan Pilkada DKI Jakarta 2017

Diperbarui: 15 Oktober 2016   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada Jakarta 2017 merupakan sebuah momentum bagi para partai politik untuk dapat meneruskan hegemoninya dalam panggung perpolitikan di Indonesia. Sekalipun peraturan terkait dengan pemilihan kepala daerah telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 dimana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah baik itu bupati/walikota, sampai dengan pemilihan gubernur dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia, Pilkada Jakarta tetap saja menjadi hal yang spesial di mata masyarakat. Selain faktor Jakarta yang merupakan Ibukota dari Indonesia, Jakarta juga merupakan provinsi yang memiliki tingkat kepadatan tertinggi di Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 9.607.787 jiwa dengan luas wilayah yang hanya 740,29 km2.

Selain jumlah penduduk yang disebutkan diatas, Jakarta juga merupakan rumah bagi para perantau dari berbagai daerah di Indonesia. Perantau bukan hanya dari daerah dari pulau Jawa saja, dari pulau-pulau besar seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua juga banyak yang mengadu nasib di Jakarta. Beradasarkan kondisi demografis ini Jakarta menjadi sebuah kota yang bisa disebut sebagai miniatur dari Indonesia karena keberadaan suku dan etnis yang bermacam-macam. 

Dari mulai suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Bugis, Dayak, Melayu, Madura, Sasak, Minahasa, Tionghoa dan berbagai macam suku dari pulau-pulau kecil. Namun dengan keanekaragaman etnis dan suku yang ada di Indonesia tersebut, saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempunyai paham primordialisme dan etnosentrisme yang sangat kuat yang kelak dapat membuat Indonesia menjadi negara yang rawan konflik horizontal.

Perlu dipahami bahwa Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Sedangkan Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama.

Dengan kondisi tersebut ketika terjadi suatu peristiwa politik seperti Pemilu ataupun Pilkada, paham primordialisme dan etnosentrisme yang tumbuh sangat kuat kerapkali menjadi suatu landasan berpikir dalam menentukan para calon pemimpin sehingga menyebabkan suatu kondisi sosial dimana masyarakat menjadi terpecah belah.  Pengaruh paham primordialisme dan etnosentrisme yang sangat kuat biasanya menjadi faktor yang bisa mempengaruhi kedewasaan berpikir masyarakat dalam pemilihan kepala daerah baik itu pemilihan Gubernur ataupun Walikota/Bupati. Isu yang diangkat ketika masa kampanye biasanya terkait asal atau tempat lahir si calon pemimpin tersebut. 

Dimana biasanya masyarakat mudah termakan oleh arus opini yang menyebar di internet khususnya melalui media sosial seperti “calon A merupakan putra daerah, dan calon B bukanlah putra daerah” atau “calon A merupakan suku A yang mayoritas, dan calon B merupakan suku B yang minoritas” sehingga masyarakat awam cenderung memilih calon A yang merupakan putra daerah serta merupakan bagian dari suku mayoritas dan mengesampingkan kapabilitas serta kredibilitas si calon tersebut dalam memimpin suatu pemerintahan. Pola berpikir dalam memilih kepala daerah yang seperti itu kerapkali ditemukan di kota-kota kecil di daerah-daerah.

Dalam konteks Pilkada Jakarta yang merupakan Ibukota negara yang menjadi pusat ekonomi terbesar serta beragamnya suku dan etnis yang mendiami wilayah tersebut, pola pikir seperti itu kerapkali memang masih terjadi. Namun dengan kesadaran tingkat pendidikan di Jakarta yang sudah lumayan tinggi serta beragamnya suku dan etnis yang mendiami wilayah tersebut maka prilaku memilih masyarakat berdasarkan etnis dan suku di Jakarta sudah tidak lagi menjadi “hot issue” dan tidak mempunyai nilai jual tinggi dalam kampanye-kampanye para calon gubernur.

Beberapa minggu terakhir ini warga Jakarta serta Indonesia tengah mengalami euforia Pilkada DKI awal setelah terpilihnya para bakal calon menjadi calon gubernur yang sah yaitu ada dengan 3 pilihan calon gubernur dan wakil gubernur yang diisi oleh pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Masing-masing pasangan calon merupakan kandidat yang diusung oleh koalisi beberapa partai sesuai syarat yang ditentukan oleh KPU DKI Jakarta terkait cagub-cawagub harus diusung oleh partai yang minimal mempunyai 22 kursi suara di DPRD DKI Jakarta yang merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Belakangan ini setelah pencalonan para cagub-dan cawagub tersebut, tersebar “hot issue” terkait video yang menjadi viral di masyarakat baik di internet dan khususnya di media sosial dari salah seorang cagub yang sekarang masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta sedang melakukan dialog dengan warga terkait sosialisasi program tambak ikan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta di Kepulauan Seribu tepatnya di Pulau Pramuka. Dalam sosialisasi tersebut, Gubernur DKI Jakarta selaku pemerintah memberikan pemaparan terkait program yang dijalankan serta langkah-langkah yang akan dilakukan pihak pemerintah ke depannya terkait akses serta prasarana dan sarana yang akan disediakan bagi warga Kepulauan Seribu jikalau ingin menjual hasil lautnya ke daratan.

Namun dalam pemaparan programnya tersebut sang gubernur mengeluarkan sebuah statement yang kontroversi terkait prilaku memilih masyarakat terhadap dirinya yang terkesan menyalahkan salah satu surat kitab suci umat Islam Al-Quran yaitu surat Al-Maidah. Terkait pernyataan tersebut sang gubernur mendapatkan cacian dan cibiran dari beberapa golongan masyarakat, utamanya para aktivis islam yang telah melakukan demo besar-besaran dalam menuntut keadilan atas ucapan sang gubernur agar diproses secara hukum.

 Demo tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta saja tapi juga di beberapa daerah. Bahkan kasus tersebut saat ini sampai ke ranah hukum dimana ada beberapa ormas yang melaporkan sang gubernur kepada POLRI. Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku LSM yang menaungi para ulama serta cendekiawan muslim juga mengeluarkan statement bahwa sang gubernur telah melakukan penistaan terhadap kitab suci umat Islam tersebut dan oleh karena itu sepatutnya sang gubernur diproses secara hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline