Lihat ke Halaman Asli

Zakky Abdillah

Zakky Abdillah

Pertanyaan Keramat Saat Lebaran

Diperbarui: 26 Mei 2020   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Pribadi

Beberapa hari di penghujung bulan Ramadhan, ada seseorang yang mengajak saya berdiskusi terkait pertanyaan yang secara ‘mutlak’ pasti dilontarkan orang-orang terdekat (keluarga) pada saat tradisi berkumpulnya keluarga besar saat lebaran. 

Saya menyebut pertanyaan yang seringkali dilontarkan itu sebagai pertanyaan yang menukik dan keramat. Disebut pertanyaan ‘menukik’ karena pertanyaan itu tidak pakai tedeng aling-aling langsung to the point tepat dengan kecepatan yang tinggi menyerang kita yang ditanya, kemudian disebut ‘keramat’ karena kita yang mendapat pertanyaan langsung merasa gemetar ketakutan, keringat dingin, aliran darah dan jantung berdetak lebih kencang.

Pertanyaan apa yang menukik nan keramat itu ? pertanyaan itu seperti kapan kuliah, kapan kerja, kapan nikah, kapan punya anak, kapan punya anak lagi, kapan punya rumah, kapan punya mobil, kapan naik jabatan, kapan haji/umroh, dst.

Sebenarnya kalimat tanya yang diawali dengan kata ‘kapan’ itu levelnya sangat rendah dalam dalam ranah epistemologi filsafat dibandingkan kata ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’, tapi untuk menjawab pertanyaan dengan level serendah itu untuk menjawabnya perlu energi ekstra.

Apalagi untuk kita-kita yang usia milenial dan gen Z (dewasa awal) pasti akan mendapat terpaan pertanyaan dari mereka yang dari usia ‘kolonial’ (usia boomer dan gen X) dan dipaksa untuk menjawab pertanyaan yang sangat sulit yakni, “kapan nikah ? kapan kawin ? kapan rabi ?”

Untuk menjawab pertanyaan itu sebenarnya hal-hal yang perlu dibongkar dari mind-set dan stand-point mereka yang berusia ‘kolonial’ itu. 

Di sini saya hendak membongkar mind-set mereka supaya tidak sewenang-wenang menindas kita yang milenial, karena selama ini kita dianggapnya kita tidak segera menikah itu berarti kita tidak laku, tidak mampu, kurang cakep, ah banyak lah...

Pertama, kita yang milenial dan mereka yang kolonial itu sudah berbeda zaman, jauh, jauh banget. Di era mereka yang kolonial dulu, untuk menikah itu seolah gampang sekali karena prinsipnya yang penting kawin. 

Maka tak jarang ada yang dulu menikahnya itu karena dicarikan oleh orang tuanya untuk dijodohkan, dari saudara jauh, bahkan di suku tertentu orok yang baru lahir saja langsung ‘dibooking’ untuk dijodohkan dengan sama-sama orok yang baru lahir juga. 

Itulah mengapa kita bisa ketahui banyak data kakek-nenek kita sudah menikah di usia yang sangat muda, baik laki-laki maupun perempuan, di usia 9 tahun, 12 tahun, 13 tahun bahkan ada yang berusia 15 tahun tapi sudah menjadi duda karena istrinya meninggal. 

Tapi kalau dibandingkan sekarang ya berbeda, untuk memilih itu saja ada ilmunya, tidak sekadar yang penting kawin, tidak zaman lagi dijodoh-jodohkan, tidak mau lagi dibooking-booking (kayak kamar hotel aja). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline