Lihat ke Halaman Asli

zakiyyah hadziqoh

Mahasiswa ilmu komunikasi UMY

Adegan Kekerasan Sinetron Memberi Dampak Negatif bagi Masyarakat

Diperbarui: 7 Januari 2024   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Nielsen

Banyaknya program TV di Indonesia yang tidak mengedukasi membuat pola pikir masyarakat menjadi tidak kritis dengan mengkonsumsi tontonan yang tidak berguna. Walaupun jumlah tayangan sinetron saat ini tidak sebanyak dengan 10 tahun yang lalu namun tayangan sinetron masih sering kita jumpai dan mungkin akan terus ada, yang menarik adalah hal ini berkebalikan dengan prinsip pemasaran bisnis pertelevisian, yaitu sinetron yang memiliki rating tertinggi adalah sinetron yang memiliki adegan yang bertentangan dengan norma di Indonesia. Terkadang pada tontonan sinetron mengajarkan penontonnya untuk bersikap negatif seperti membentak orang tua, perkelahian, kekerasan, dan berpakaian tidak wajar (Dian Eka, 2004).

Menurut (Ardianto dan Ardinaya, 2007) pemikiran, tindakan, dan sosial budaya akan dipengaruhi oleh media massa. Berdasarkan pendapat ini kita bisa menyatakan jika masyarakat menjadi keras, sehingga masyarakat memperoleh satu pembelajaran yang pasti bahwa untuk menyelesaikan masalah, jalan yang harus mereka tempuh adalah dengan menggunakan kekerasan (Ahmadi, 2005).

Sepatutnya kita merasa khawatir jika kita mengamati fenomena meningkatnya kekerasan dalam menyelesaikan masalah akhir-akhir ini, bagi sebagian orang mungkin menganggap tidak relevan dengan televisi karena banyak orang yang saat ini menggunakan media sosial untuk hiburan dan mencari informasi. Namun, sebagian orang lainnya masih bertahan dengan televisi karena sifatnya yang massif. Hal ini menjadikan penting bagi masyarakat pasif yang menerima informasi secara mentah dan tidak mengkritisinya terlebih dahulu.

Jika acara TV sebagai karya seni hanya dianggap sebagai bentuk kreatifitas manusia, namun acara TV sebagai bentuk sosial praktik masyarakat lebih menekankan pada bagaimana acara TV khususnya sinetron memiliki peran penting dalam masyarakat. Sinetron tidak lagi dipandang sebagai bentuk ekspresi pembuatnya, melibatkan interaksi yang lebih kompleks dan dinamis dari seluruh elemen pendukung produksi.

Dari data yang disajikan, terlihat bahwa penonton menghabiskan sekitar 197 jam dalam setahun untuk menonton sinetron. Meskipun tayangan sinetron sudah dilengkapi dengan peringatan batasan usia, namun tetap saja bisa ditonton oleh siapa pun tanpa pengawasan. Banyak kasus menunjukkan bahwa anak-anak meniru adegan dari sinetron, seperti kasus kekerasan yang melibatkan seorang siswa SD pada tahun 2014, yang dipengaruhi oleh program TV tersebut. 

Fenomena ini menyoroti bahwa sinetron, alih-alih menjadi sarana hiburan, justru memberikan dampak negatif pada sosial masyarakat. Kritik terhadap tayangan sinetron telah ramai disuarakan melalui media sosial, bukan hanya terkait kekerasan, tetapi juga mengenai stereotip perempuan yang seringkali digambarkan dalam karakter tidak bahagia, tertekan, atau menjadi korban perlakuan yang merugikan. Menurut (Listiani 2015) seharusnya televisi khususnya sinetron menyajikan kehidupan sosial sebagaimana adanya, termasuk didalamnya menyajikan karakter perempuan yang sebenarnya karena persepsi masyarakat dipengaruhi pula oleh field of experience dan frame of reference. 

Sekitar 10 tahun yang lalu AN (8), siswa kelas II SD Negeri 07 Kebayoran Lama Utara Jakarta Selatan tewas usai dianiaya rekan sekelasnya R (8). Korban tewas setelah terlibat perkelahian dengan R dan luka di bagian kepalanya. Perwakilan Asosiasi Psikologis Forensik, Kasandra Putranto mengatakan, peristiwa tewasnya bocah tersebut karena dunia yang semakin maju, ditambah maraknya kekerasan yang sering ditayangkan kepada publik termasuk anak di bawah umur. "Salah satu pemicu anak melakukan kekerasan saat ini banyaknya sinetron dan film yang isinya selalu menayangkan kekerasan, mengejek, memaki maki, bully terus marah, nah itu yang menjadi bagian perilaku dari anak Indonesia," kata Kasandra ketika dikonfirmasi, Minggu (20/9).

Hal ini dapat menunjukkan bahwa adegan dalam tayangan kekerasan dapat menimbulkan perilaku kekerasan dalam diri anak. Salah satu bentuk kekerasan yang dapat ditiru oleh anak dari tayangan televisi adalah bullying. Fekkes, Pijpers, & Verloove-Vanhorick 2004, Kaltiala-Heino, Rimpelae, & Rantanen (2000), Srabstein, Mc Carter, Shao, & Huang (2006) diacu dalam Rivers et al. (2009) mendefinisikan bullying sebagai bentuk dari kelainan mental psikosomatis yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan korban-korban yang mengalami bullying akan mengalami depresi dan kecemasan yang berlebihan.

Beberapa ahli menunjukkan adanya potensi imitasi atau peniruan sebagai efek segera yang sering muncul di masyarakat akibat tayangan di televisi, hal ini berakibat habituation yaitu orang yang terbiasa dengan kekerasan dan kriminal. Akibatnya orang menjadi tidak peka, permisif, toleran terhadap kekerasan. Bahkan Porter (1999) menunjukkan adanya learning social norms karena tayangan kekerasan yang terus-menerus yang dianggap mampu menyelesaikan masalah.

Dulu, adegan kekerasan hanya dianggap sebagai bumbu dalam tayangan atau berita. Namun, seiring berjalannya waktu dengan kemajuan media massa yang telah menyebar, kekerasan dan kriminalitas kini menjadi tontonan yang dijual dan dijadikan acara tersendiri, pengelola televisi merasa ini 'saatnya' menayangkan tayangan televisi yang berbeda serta menantang selama rating-nya tinggi. Bagi masyarakat pasif 'Seeing is believing'. (Ahmadi 2005).

Solusi dari permasalahan ini adalah perlunya kerjasama antara pihak produksi TV dengan masyarakat, dalam hal ini program acara TV di televisi lebih menonjolkan motivasi yang mampu mendorong penontonnya untuk meniru apa yang ada pada program tersebut dan masyarakat Indonesia hendaknya lebih bijak dalam memilah tontonan yang lebih bermanfaat. Dengan menggunakan teori kultivasi yaitu proses kumulatif dimana televisi menumbuhkan persepsi atau keyakinan terhadap realitas sosial, penelitian kultivasi ini menekankan bahwa media massa sebagai agen sosial lebih memercayai apa yang disajikan televisi daripada realitas itu sendiri (Ii and Pustaka 2011).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline