Wacana penghapusan guru honorer masih belum terealisasi. Sampai sekarang, ribuan orang bertahan dengan profesi ini. Motifnya pun beragam. Karena pengabdian, mengharap ridha Tuhan, mengharap pahala berlipat ganda, tidak ada pilihan profesi lain, dan harapan diangkat menjadi PNS atau PPPK.
Sembari menunggu terbitnya 'fajar', para guru honorer harus bertahan dengan gaji pas-pasan. Lebih tepatnya gaji sangat rendah. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa gaji guru honorer hanya ratusan ribu rupiah.
Banyak beredar cerita menyedihkan dan mengenaskan terkait gaji guru honorer. Namun, ada hal yang lebih pedih dibanding gaji guru honorer yang hanya ratusan ribu itu. Hal paling pedih adalah saat gaji nya yang rendah masih harus digunakan untuk membayar hal lain.
Misalnya, membayar uang jahitan seragam, menghias kelas, dan mengurus administrasi tertentu.
Meskipun gaji berbeda, namun seragam guru PNS dan guru honorer tetap lah sama. Ada seragam Kopri, PGRI, keki, baju olahraga, dan baju khusus sesuai kota masing-masing.
Pada umumnya, guru honorer harus menjahit beberapa seragam tersebut menggunakan uang pribadi. Harga seragamnya juga tidak murah. Rata-rata harganya masih di atas seratus ribu rupiah.
Jadi, jika gaji yang diterima guru honorer setiap bulan adalah Rp. 200.000-300.000, sedangkan biaya menjahit seragam kisaran Rp. 80.000-150.000, maka sisa gaji guru honorer tinggal kenangan saja.
Di luar urusan seragam, pada awal tahun ajaran baru sering dilakukan kegiatan menghias kelas. Guru honorer juga mendapatkan tugas sebagai wali kelas.
Menghias kelas memang bukan sebuah kewajiban. Namun, setiap guru ingin menciptakan suasana kelas yang nyaman, indah dan rapi. Sehingga, setiap wali kelas berusaha untuk menghias kelasnya.
Hanya saja, biaya menghias kelas sering ditanggung oleh wali kelas masing-masing. Karena wali murid tidak punya inisiatif menanggung biaya, dan pihak sekolah juga lepas tangan.