Lihat ke Halaman Asli

Zaki Nabiha

Suka membaca

Menanti Sikap Tegas Liga Arab dan OKI

Diperbarui: 14 Desember 2017   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

koleksi pribadi

Seperempat jam lagi, azan Isya dikumandangkan.  Zuhair al-Mansi bersama 20 pemuda menderas Al-Qur'an. Hal biasa yang dilakukan setiap Jumat malam. Tiba-tiba pintu barat Masjid Al Hidayah digedor, beberapa orang bertopeng hitam masuk. Pintu dibuka paksa. Zuhair al-Mansi, seorang juru dakwah, bersama jama'ah lainnya diberondong. Peluru dimuntahkan dalam waktu yang singkat. Mas'ud Shamlah dan Ehad gugur, syahid. Rintihan keluar bersama sayup kalimat syahadat dari para korban  yang tertembus timah panas.

Peristiwa penyerangan Masjid Al Hidayah terjadi pada Jumat malam, 26 Januari 2007 di sudut kota Gaza, Palestina. Menurut saksi mata, seorang kakek berusia sekitar 80 tahun mencoba menahan pergerakan para penyerang dan menghardik mereka, "Takutlah kepada Allah, Jaga kehormatan masjid !", begitu katanya diulang-ulang. Persitiwa itu terekam dalam buku Gaza Dalam Pelukan HAMAS-Kronologi Perjuangan Melawan Konspirasi, semacam buku butih HAMAS yang dialihbahasakan oleh Center for Middle East Studies

Kita ingat Palestina, ketika HAMAS memenangi Pemilu legislatif 2006, aksi kekerasan terhadap para pendukung dan anggota legisatif dari HAMAS kerap terjadi. Tak ayal, ini membuat agenda perubahan dan reformasi yang dijanjikan tersendat. Termasuk cita-cita menyatukan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Baik dalam kesatuan geografis maupun entitas politik.

Di saat HAMAS disibukkan dengan urusan domestik, intervensi datang dari Amerika Serikat (AS). Condoleezza Rice, Menteri Luar Negeri AS saat itu begitu aktif melakukan pertemuan bersama Mahmoud Abbas (Fatah) dan Ehud Olmert, Perdana Menteri Israel. Pertemuan-pertemuan itu sebetulnya tidak memiliki agenda politik yang jelas dalam konteks upaya stabilisasi politik Palestina. Condolezza justru menggunakan Fatah yang popularitasnya ambruk karena skandal korupsi untuk menyebarluaskan pengaruh dan agenda-agenda politiknya. Tapi sang Menlu yakin dengan pendapat bahwa Palestina adalah kunci penyelesaian krisis dan masalah kawasan. Maka ia pun menawarkan agenda-agenda reformasi di Timur Tengah dengan melibatkan negara dan kekuatan politik lokal, tentu dengan kesepakatan tertentu. Maka sulit kemudian untuk tidak manaruh curiga bahwa Condoleezza, Abbas dan Olmert sebenarnya sedang bermain mata.

Kini, berselang sepuluh tahun. Keberpihkan atau sikap politik AS kepada Israel yang sekarang dikomandoi oleh Donald Trump terhadap konflik Israel-Palestina memasuki babak baru. Presiden Trump, di Gedung Putih, Rabu (6/12) mengatakan "sudah saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel".

Tidak butuh waktu yang lama, sikap Trump dikecam oleh masyarakat dunia. Bukan hanya dari kalangan Islam. Suara kekecewaan pun muncul dari Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan sekaligus kepala negara Kota Vatikan. "Namun, saya meminta secara tulus kepada semua pihak agar tetap berkomitmen untuk menghormati 'status quo' kota itu dan sejalan dengan resolusi PBB yang berlaku", Paus mengingatkan.

Senada dengan Paus, Turki, melalui Presiden-nya, Recep Tayyip Erdogan dengan sikap yang lebih tegas menyerukan untuk diselenggarakannya konferensi tingkat tinggi (KTT) Orgasisasi Kerja Sama Islam (OKI). KTT ini diharapkan dapat mengambil sikap terhadap sikap AS sehingga tidak menjadi bola liar seperti tindak kekerasan dan yang lainnya.

Sampai sabtu (9/12), setidaknya sudah empat warga Palestina tewas dan sekitar 25 orang terluka, termasuk enam anak akibat serangan udara militer Israel. Militer Israel melakukan serangan udara sebagai balasan terhadap protes keras warga Palestina terhadap pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Sebelum pengakuan Trump, secara politik tidak ada satu Negara pun yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Karena berdasarkan Resolusi PBB Nomor 181 Tahun 1974, Yerusalem dinyatakan sebagai kota internasional. Maka langkah Trump tersebut justru kontraproduktif dengan peta damai yang kerap AS kampanyekan. Alih-laih mengakhiri konflik, Trump malah menarik pihak lebih banyak terlibat dalam konflik Israel-Palestina. Dan ini momentum bagi Liga Arab dan OKI untuk menunjukkan sikap dan keberpihakan yang lebih kepada warga Palestina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline