Lihat ke Halaman Asli

Rohingya, Saya Datang

Diperbarui: 6 September 2017   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

koleksi pribadi

KEPALAKU pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak, pilihan antara berangkat ke Rohingya membuatku harus memutar otak. Apakah dengan sekejap langsung tiba disana dan nihil amal atau berangkat dengan perjuangan yang sangat melelahkan dan syarat makna. Kepalaku bilang mending sekejap tanpa perjuangan berat, tapi masalah kesuciaan diri belum tentu dapat terpenuhi. Hatiku bilang, mending berangkat secara rasional dan menjadikan hidup itu proses. Hati ini bilang bahwa fase ini, perjuangan berangkat ke Rohingya, adalah proses pendewasaan yang bisa jadi ini moment tepat untuk menguji kepada kesetiaan kepada Tuhan.

"Bagaimana Dang, sudah dipikirkan pilihanmu?" tanya Kakek setelah membiarkan aku berpikir sepuluh menit yang lalu.

"Belum Kek. Saya tidak tahu mana yang harus dipilih. Keduanya memiliki plus dan minus. Tapi sepertinya berangkat dengan dimensi spiritual adalah sangat sulit dan harus teruji kesucian hati ini. Agak berat Kek." Jawabku dengan beretorika.

"Hehehehe... benar Dang. Dimensi ini penuh dengan syarat yang harus ditempuh, dan tidak semua orang mampu. Hanya orang-orang pilihan untuk bisa mengikuti rumus Tuhan dalam melampaui ruang dan waktu. Hanya mereka yang terpilih untuk berangkat dalam jaringan super kilat bernama mesin waktu. Bukan kamu tidak bisa Dang, tapi perjuangannya akan lebih berat. Peercayalah." Jelas kakek tua itu beralibi.

"Baiklah kek, aku memilih yang kedua. Dimensi rasional sepertinya lebih bermanfaat." Ucapku memilih.

Tetiba, kepalaku pening dan brukkk badanku roboh serta tak sadarkan diri. Aku tak tahu apa yang dilakukan kakek tua itu. Aku tak tahu apakah aku harus istirahat di gubuk tua itu. Aku pun tak tahu apakah bisa pulang atu dimakan binatang buas penghuni hutan lebat itu. Aku pasrah. La haula wala quwwata illa billah.

*****

Terdengar suara adzan subuh memekikan telinga dari kejauhan. Aku buka mata ini, dan terkejut setengah mati. Aku lihat sekeliling mulut hutan yang penuh dengan pohon-pohon teduh. Di balik remang-remang gelapnya subuh, terdengar suara kodok bersahutan. Suara-suara binatang khas pagi pun terasa meyakinkanku bahwa saat ini, aku berada di pinggir hutan. Aku lihat tubuhku masih lengkap tanpa kurang apapun. Begitupun tasku masih nempel dipinggangku.

Di hamparan rumput yang kering aku terbaring dengan aman. Saat aku raba saku celanaku, ada secarik kertas yang menurutku bukan miliku. Dengan berhati-hati, aku baca tulisan itu. Namun tidak jelas terlihat. Tulisannya Arab tapi sepertinya bahasanya menggunakan bahasa Sunda. Tulisannya rapih dan membuat saya memutuskan untuk segera pergi dan menemukan sumber suara Adzan subuh tadi. Mudah-mudahan ada cahaya listrik yang membantu.

Di mushola kampung yang berukuran sekitar 4 X 5 Meter, aku rebahkan badan ini. Setelah sholat shubuh aku palingkan mataku untuk membaca tulisan yang belum aku baca tadi. Aku meyakini bahwa tulisan ini adalah tulisan kakek tua yang namanya pun belum sempat aku tanyakan. Ia begitu bijaksana dalam hidup. Ia begitu cerdas dalam wawasan hidup, namun ia tidak lagi ingin hidupnya dicemari oleh kehidupan dunia yang penuh dengan intrik.

Perlahan aku buka gulungan tulisan itu, dan ku coba memaknainya. "Nak, maafkan kakek hanya bisa mengantarmu di bibir hutan ini. Kakek tak kuat mengantarmu ke pesantren Kyai Faqihmu. Kaki ini terlalu rapuh untuk menggendongmu. Salam buat kyai hebat mu itu." Aku baca dalam hati dan benar saja terkaanku bahwa tulisan ini dari kakek tua itu. Sayang, aku tak bisa mengingat dimana gubuknya. Yang pasti, itu di dalam hutan yang lebat itu. Kemudian, aku putuskan untuk pulang ke pesantren.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline