Lihat ke Halaman Asli

Jalan Terjal Menuju Rohingya

Diperbarui: 5 September 2017   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pribadi

Aku langkahkan kaki untuk segera kembali ke kamar kobong di lantai dua. Namun, langkah ku melayang tak terasa berpijak. Kepalaku pening seperti dicekoki sabu impor Cuba. Hatiku terasa tertusuk oleh hukuman pak Kyai yang tak manusiawi. Aku tak paham, kenapa beliau begitu sadis untuk mengirimku ke sebuah gunung sejauh tiga kilometer dengan tanpa petunjuk apapun. Apa beliau tidak ingat bahwa aku ini anak siapa.

"Dang, Ingat pesantren ini miliki teman bapak. Ia orang cerdas dan teguh pendirian. Ketika kita mondok dulu di Lirboyo, ia adalah santri orang Sunda pertama yang jadi pemenang segala lomba. Ia teman sekamar Bapak, dan pastinya teman curhat. Di mana ada Kyai Faqih, di sana juga ada Bapak. Jadi jangan memalukan Bapak ya! Ia tahu kualitas bapak, begitupun sebaliknya." Itulah ceramah panjang yang Bapak ucapkan sebelum meninggalkan pesantren saat mengantarkan pertama kali di pesantren ini lima tahun yang lalu.

Peningnya kepala ini membuat kaki terasa berat melangkah. Debaran jantung tak menentu. Bayangan abstrak yang bercokol di kepala ku muncul tiba-tiba. Beberapa detik muncul bayang Bapak yang begitu aku cintai, lalu kemudian Kyai Faqih yang agung dan saat ini aku benci, bayangan Aung Sie pun tak pelak hadir dalam kepala ku di samping Kang Sandi Sang Rois, Astri yang begitu cerdas secerdas Bapaknya, Mamah yang selalu memotivasi, dan "Brukkkkkk...aku pun tak tahu lagi ceritanya. Entah apa yang terjadi.

"Dang...dang...dang..." kalimat itu saja yang terdengar di telingaku. Suaranya begitu familiar. "Dang, bangun ini sudah jam Sembilan malam. Kamu belum shalat isya. Siuman dong, saya takut kamu mati" celoteh Asep, teman soulmate sekamar menggoyang-goyangkan badan ini.

Aneh, badan ini sangat segar sekali rasanya. Rebahan di kasur kumal ini membuat energiku seolah penuh kembali. Kasur ini bagai charger dua volt. Memoriku mencoba mengingat apa yang terjadi sehingga malam ini aku bisa tidur.

"Sep, kenapa aku bisa tidur? Tanyaku pada Asep yang wajahnya pucat.
"Bukan tidur Dang, tapi kamu itu pingsan. Tadi sepulang dari rumah pa Kyai, kamu ditemukan tergeletak di dekat toilet lantai I." jelas Asep dengan pucatnya yang agak memudar.
"Jadi aku pingsan Sep? Apa pa Kyai tahu tentang hal ini?" tanyaku bertubi tubi.
"Iya tahu. Bukan hanya pa Kyai seisi pesantren ini ribut menceritakanmu. Hingga ada yang banyak menganggapmu dihukum berat oleh pa Kyai." Jawabnya.

"Ya Alloh, kenapa aku rapuh begini" batinku. Aku mencoba mengulang semua kejadian yang ada di benakku, dan benar saja semua rekaman itu bisa aku lihat lagi. Lalu, aku teringat hukuman pak Kyai yang belum tertunaikan. Aku pun bangun dan sesegera melangkah mengambil tas.
"Kau mau ngapain Dang?" tanya Asep dengan bingung. "Tuh minum dulu air teh manis anget kiriman santriat. Katanya yang buat Astri"

"Apa Sep? Astri?" tanyaku sambil kikuk. Aku tak tahu begitu perhatian dia dengan semua kondisiku. Wajah Aung Sie pun terbayang di belakang wajah Astri. Ya, kedua wanita ini sama-sama cerdas. Sama-sama berparas menarik. Sama sama pejuang Islam, dengan cara yang berbeda. Aku seruput teh manis yang mulai mendingin itu. Dan kulihat jam dinding di kamar sudah mulai menunjukan jam 9.15. "Aku harus pergi sekarang" gumanku.

Dengan wajah yang melongok, Asep mengikuti gerak-geraku. Aku ambil sarung dan beberapa pakaian kaos tebal. Aku pakaikan celana untuk menggantikan sarung dan aku ikatkan ikat pinggang kuat-kuat.
"Dang, kau mau kemana? Jadi kau diusir pa Kyai?" tanya Asep kebingunan dengan tas gendong yang ku pegang.
"Tidak Sep! Saya tidak diusir. Hanya diberi tugas untuk pergi malam ini. Do'ain ya. Walau terasa berat, tapi harus saya jalani Sep. Kau akan tahu nanti setelah saya menjalaninya. Aku akan ceritakan padamu semuanya. Saya janji, Sep."

Asep pasrah. Ia hanya menatapku dengan kosong. Ia hanya ingin menolong, tapi aku tak pernah mengizinkan ditolong. Ia hanya diam membisu dan membiarkan aku pergi. Tatapannya penuh dengan tanda tanya, namun tak berani berkata apa-apa lagi. Ia memang sahabat. Sahabat sejati.

Aku lihat situasi pondok pesantren yang mulai gelap. Aku pastikan tidak ada satu santripun yang melihat aku. Bagaikan tikus yang mau lari dari peraduannya, aku pun melangkah dengan kecepatan maksimal untuk segera meninggalkan pesantren. Tujuanku hanya satu, Gunung arah selatan tiga kilometer dari pesantren. Semoga tidak tersesat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline