Ku tutupkan kitab I'anah at Tholibin itu. Bahasanya yang keriting tentang Jinayahmembuat saya pusing tujuh keliling. Bukan karena tidak pahamnya tapi ada perasaan aneh menyesakan dada. Entahlah perasaan itu menggguncang di dada. Lumeran hitam pekatnya tinta mengaliri kover kitab berwarna cokelat itu tak terasa mengotori. Qolam yang biasa dipakai menulis lughottak sadar menusuk kulit lengan. Tusukan darah itu pun tak terasa mengalir begitu saja. Entahlah, campur aduk perasaan ini begitu tak karuan.
Darah yang mengalir dari tangan menyadarkan saya atas semua perasaan itu. Darah itu pula yang mengingatkan saya pada handphone Samsung jadul yang masih berfungsi. Lalu ku cari HP itu di lemari bajuku. Aku tak menemukannya. Ku cari di balik kitab-kitab yang berserakanpun tak bisa dilihatnya. Dengan setengah menyerah aku cari HP itu di balik bantal. Ya, ketemukan HP itu. Ada bekas jatuh di bezzelnya.
Ya, kemarin saya tak sadar membantingkannya. Setelah tahu tak ada balasan WhatsApp yang ditunggu seminggu ini. Entah lah, kenapa saya begitu emosian. Setelah perkenalan dengan gadis manis asal Rohingya, emosi saya fluktuatif bagaikan harga saham di Bursa Efek. Tak menentu dan sesekali ingin melayang terbang, walau tak tahu harus kemana. Percakapan dalam WA dengan gadis itu telah membuat hidupku berwarna, penuh ambisi, imajinasi dan halusinasi.
Gadis bernama Aung Sie itu telah merubah rasa ku. Saya tak tahu rasa apa itu. Bila orang mengatakan jatuh cinta, tak pernah ada kata cinta ditulisan WA itu. Tak pernah ada kata-kata mesra atau layaknya orang jatuh cinta. Tak ada. Kami hanya bertukar pikir, bersahaja kata dan menjalin kabar yang menyejukan. Dengan bahasa Inggris terbata-bata, kami lakukan itu berbulan lamanya melalu facebook dan berakhir dengan WA. Aku mengaguminya sebagai seorang perempuan. Aku pun jatuh cinta atas parasnya dan aku jatuh sayang atas perjuangannya.
Namun dua minggu ini, WA tak pernah aku terima. Tidak ada satupun dari ratusan broad casting WA terselip balasan darinya. Aku tak pernah mengalami rindu serindu ini. Dua minggu adalah masa penantian panjang untuk hanya mendapatkan balasan WA. Aku rindu, ingin membaca kalimat syahdunya. Ingin memetik buah hikmah dari kata-katanya, ingin merasakan gaya humor yang berbalut bahasa Inggris yang aneh darinya. Aku ingin tahu kabar terbarunya.
Terakhir, ia menyapaku dengan sangat membahagiakan. Hati ini terkoyak untuk menunggu keputusan kata-katanya. Saya berharap kalimat nya menjadi kenyataan. Aku baca ulang kiriman WA itu:
"Kaifa Kholuk ya akhi... antum pasti sehat kan? Sie sehat dan tetap semangat sesemangat santri pesantren Indonesia untuk mengaji. Eh akhi, antum udah tamat belum ngaji I'anah at Tholibinnya, boleh dong bagi-bagi ilmunya. Ga usaha bahasanya yang keriting ya, intinya aja biar langsung paham. Kalau bisa masalah "munakahah" yah... biar buat bekal buat "kita", eh buat aku dan akhi...eh buat ummat Islam maksudnya... hehe...salam dari Rohingya, semoga suatu saat aku bisa hadir di negeri indahmu akhi..."
Jleb. Kata yang menusuk dalam batinku. Dua kata "munakahah" dan "kita" adalah yang terngiang dalam batin ini. Dua kata itu memiliki makna yang dalam dan berarti dalam sebuah relasi aku sebagai lelaki dan ia sebagai perempuan. Entahlah, apa perasaan ini sama dengan yang ia rasakan, atau memang aku hanya bertepuk sebelah tangan. Tulisan WA itu menjadi harapan satu-satunya dari jutaan perasaan dalam menggapai masa depan.
Pukul 11 tepat jam di kamar kobongku. Jamnya qoilullah.Namun, ada hati ingin menonton TV di warung tempat nongkrong dan makan. Ada ingin menyelidiki, mudah-mudahan ada kabar Aung Sie masuk tivi atau jadi artis biar bisa tahu kabarnya. Ku buka dompet hitam lepet ku itu dan ku ambil uang lima ribu hanya untuk membeli kopi biar menenangkan pikiranku ini. Ku ambil kopeah hitam yang agak kuning pinggirnya lalu ku langkahkan kakiku dengan semangatnya menuju warung Bi Ijah di pojokan pondok.
Alunan musik pop ala acara Dahsyat RCTI membuat kepala saya pusing. Dengan cekatan ku ambilkan remot di tangan Andi, juniorku yang lagi menikmati lagu itu sambil makan mie rebus.
" Wish kang, jangan dipindahin. Itu acara favoritku. Aku kan butuh hiburan." Gumannya.