Lihat ke Halaman Asli

Yakin, Anda Ingin Berhaji?

Diperbarui: 25 Agustus 2017   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BERHAJI adalah impian semua kaum muslimin. Bila dalam hatinya ada sebercik iman, saya yakin, berhaji adalah keinginan terbesar dalam menyempurnakan akidahnya. Tidak sedikit orang dengan segala cara untuk bisa melakukan ibadah haji ke tanah suci, Mekkah al Mukarromah. Ada yang menjual tanah warisan, ada yang menabung tahunan, ada yang menjual properti, ada juga yang ujug-ujug Allah mudahkan rezekinya untuk pergi ke tanah suci. Namun, tidak sedikit juga ada mereka yang sudah mampu dari sudut materi, namun tidak mau, tidak mampu, atau belum ada niat untuk menunaikan ibadah haji. Karena, ibadah haji bukan sekedar ibadah yang mahal.

Tulisan ini ditujukan untuk sekedar bercerita tentang sebuah pengalaman dan refleksi atas ibadah haji yang pernah saya lakukan, di samping suasana haji sangat kental di bulan ini. Ada banyak hal yang bisa dibagikan dalam hal peribadahan rukun kelima ini, namun saya akan batasi dengan dua hal sederhana saja; (1) bagaimana start up (memulai) berniat ibadah haji, (2) bagaimana cara berangkatnya.

Start Up Ibadah Haji

Saya yakin, yang paling mudah tapi sulit untuk meyakininya adalah melakukan start up. Start up dalam istilah lain adalah berniat. Tempatnya dalam hati, tidak ada biaya yang harus dikeluarkan dan memiliki keyakinan yang berbeda antar satu individu satu dengan yang lainnya. Memulai untuk "mau" beribadah sangat mudah dalam hati. Dikatakan mudah karena semua orang bisa melakukannya dalam hati. Gratis lagi. Walaupun begitu, tidak banyak orang yang mampu mengkondisikan hatinya untuk benar-benar start up dalam berniat.

Bila mengacu pada definisi niat "Muqorronan bi fi'lihi" dibarengi dengan pekerjaannya, maka niat tidak sekedar mengazam. Mengazam (berencana) hanya ingin tanpa ada usaha. Niat adalah rencana dan usaha sekaligus. Jadi, start up harus didefiniskan sebagai niat dan itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bagaimana mengkondisikan suasana batin adalah salah satu instrumen untuk meluruskan berniat.

Ada beberapa kategori niat ibadah haji yang sering muncul dalam setiap pribadi. Pertama haji lillah versus haji gengsi. Kategori haji lillah adalah kategori yang murni haji dilakukan karena ingin mendapatkan kesempurnaan dalam berislamnya. Bila rukun itu dianalogikan sebagai komponen rumah, maka berislam itu terdiri dari komponen (1) fondasi, (2) lantai, (3) dinding, dan (4) atap. Untuk menyempurnakannya, ada komponen penting namun tidak harus dalam komponen rumah, yakni harus dicat dengan indah. Namun tujuan mengecat rumah bisa karena benar-benar hakiki memperindah rumah atau karena ingin terpuji orang lain dengan kalimat "rumahnya bagus".

Haji lillah tidak memasukan pandangan orang lain dalam ibadahnya. Ia hanya melihat Allah sebagai tujuannya. Ia mengecat rumah karena memang paham bahwa rumah harus dicat. Hakikat rumah memang perlu dicat. Walau dengan cat yang sama, Haji gengsi memasukan unsur pandangan orang lain dalam proses ibadahnya. Ia menginginkan bahwa cat rumah bukan hanya karena hakikat rumah harus dicat, namun biar orang memandang bahwa rumahnya bagus, mewah, berduit dan berkesan memiliki kehormatan lebih.

Tidak dipungkiri, dimensi spiritual ibadah haji di Indonesia telah bergeser dari ajaran yang spiritual-transendental oriented ke spiritual-social oriented. Peletakan "H" sebelum nama sesorang memiliki dampak sosial yang cukup signifikan. Hal ini bisa dipandang sesuatu yang positif atau sebaliknya, negatif. Positifnya ibadah haji dengan ada dimensi kemewahan ber"H" dalam namanya memiliki motivasi tinggi untuk dilakukan, namun negatifnya "H" ini bisa berdampak menghilangkan esensi ibadahnya yaitu penghambaan kepada Sang Kholik. Gengsi akan lebih besar porsi start up nya ketimbang Allah sebagai penyuruhnya.

Jadi, ibadah haji lillah itu memiliki dimensi spiritual yang tinggi dan ibadah haji gengsi berlatar dimensi sosial yang luas. Cara membedakan sebuah status sosial dalam masyarkat muslim itu sangat mudah, yakni dengan melihat rumahnya, kendaraannya dan berhajinya. Bila ketiga pokok itu sudah tampak, maka dapat dipastikan status sosialnya meningkat. Hal inilah yang menyebabkan muslim Indonesia mengantri puluhan tahun untuk segera berhaji. Bahkan tidak sedikit, hajinya mengantri demi melaksanakan haji kedua, ketiga dan seterusnya.

Kedua haji nisab versus haji nasib. Karena ibadah haji itu bukan sekedar ibadah bathin layaknya sholat, Ia membutuhkan dana yang besar untuk biayanya, maka ada dua kecenderungan orang berangkat ke tanah suci. Haji Nisab adalah identitas yang menunjukan bahwa ia berhaji karena uangnya cukup untuk berhaji. Ketika keyakinannya untuk berhaji ingin dilaksanakan, didukung dengan adanya uang, klop sudah untuk berhaji. Maka hajinya itu sudah nisab dan pas. Hatinya dan uangnya menjadi prasyarat untuk melaksanakan haji.

Berbeda dengan haji nisab, haji nasib itu tidak melihat hati dan uang sebagai prasyarat. Karena haji adalah undangan Allah yang maha segalanya, maka haji nasib susah diprediksi keberangkatannya. Biaya yang harus dikeluarkan oleh ibadah haji harus dikemas dalam konteks wayarzuquhu min haesu la yahtasib (rezeki dari arah yang tidak terduga). Haji ini murni undangan Allah walaupun dalam konteks rezeki matematis tidak mungkin ia dapat membayar biaya haji yang super mahal tadi. Haji nasib adalah haji yang dinasibkan Allah untuk datang tanpa embel-embel syarat finansial yang memberatkan. Susah diprediksi, tapi faktanya banyak kasus orang berangkat ke sana dengan cara begitu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline