Kota Literasi: Dari Pesimisme ke Optimisme
Oleh: Zaki Mubarak
Masalah kota kecil macam Tasikmalaya dimata dunia akademik adalah rendahnya literasi. Masalah ini sangat serius karena menyangkut harga diri sebuah kota. Konon, dari literasi inilah ukuran intelektualitas sebuah daerah diukur, semakin warganya literate maka semakin inteleklah kotanya. Sebaliknya, semakin rendah literasinya maka semakin rendah pula kualitas kotanya.
Banyak komponen yang menopang literasi. Ada perguruan tinggi, ada karya ilmiah, ada intensitas kumpulan para ilmuwan, ada asosiasi para kademisi, ada upaya-upaya progresif untuk menulis, dan upaya lainnya. Seharusnya, kota kecil bernama Tasikmalaya ini cocok untuk menjadi kota literasi karena di sana berdiri Perguruan Tinggi, baik berbadan hukum negeri maupun swasta, baik umum atau keagamaan, dari ilmu teknik eksakta sampai ilmu politik. Tasikmalaya adalah kota yang lengkap dari sudut bangunan intelektualnya. Namun saya tidak terlalu yakin dengan manusianya.
Dalam pandangan saya yang terbatas, manusia Tasikmalaya belumlah se-literate kota pendidikan besar semisal Jakarta, Bandung dan Jogjakarta. Manusia yang berkecimpung dalam dunia akademik di kota ini belum memiliki kualitas sehebat jaringan di tiga kota tadi. Energi literasinya masih harus banyak belajar pada kota-kota pendidikan besar. Mereka harus menumbuh kembangkan semangat literasi yang tidak mudah untuk dibangunkan dan ini harus diupayakan dalam gerakan-gerakan literasi.
Beberapa indikator ini dapat menjustifikasi bahwa kota ini belum bagus literasinya. Pertama, publikasi ilmiah yang diharapkan maju di perguruan tinggi (PT) di wilayah ini sangat minim, bahkan bisa dikatakan tidak berbanding lurus dengan jumlah dosen dan mahasiwanya. Kemalasan dosen dalam menulis adalah salah satu faktor paling dominan. Jejaring nasional dan internasional yang harusnya dibangun dalam PT belum hadir disini. Prilaku pendidik PT yang seharusnya melaksanakan tridarma PT; pendidikan, penelitian dan pengabdian, masih dalam sebatas wacana.
Di Tasikmalaya, PT hadir hanya sebatas sebagai teaching university bukan research university. Boro-boro mengejar indikator world class university (WCU), yang ada adalah masih berkecamuk dengan perbaikan manajemen, pendanaan, bangunan dan lain sebagainya. Sisi dalam peningkatan SDM dosen sepertinya banyak diabaikan. Saya kira kasus Tasik hampir mirip dengan kota kecil lainnya, yang dalam konteks ini perlu perjuangan besar untuk menggeser paradigma lama yang kurang mendukung WCU yang dicanangkan pemerintah.
Kedua tidak memiliki penerbitan ilmiah. Sebagai kota yang baru move on untuk menjadi kota pendidikan, sepertinya Tasik masih memerlukan perbaikan yang signifikan. Tidak adanya penerbitan ilmiah yang membantu warga akademis untuk menerbitkan karya ilmiah disinyalir sebagai bagian tidak majunya literasi warga Tasik. Dalam belasan tahun terakhir, muncul surat kabar rasa lokal dan diproduksi di Tasik.
Sebelumnya koran harus terbit di pusat jabar (baca: bandung), namun sekarang Tasik memiliki paling tidak dua koran dan beberapa tivi. Namun, ini adalah bisnis. Pera penerbit berpikir berulang kali ketika ingin membuat penerbitan karya ilmiah. Disamping bahan bakunya (baca: penulis) yang kurang, budaya membacanya juga sangat rendah. Jadi alasan inilah yang membuat Tasik tidak seperti Jogja yang memiliki ratusan penerbit.
Ketiga, Tasik selama ini masih menjadi kota transit dalam literasi. Hari ini, Tasik masih menjadi konsumen dari karya-karya ilmiah kota besar di Indonesia. Hampir semua PT menggunakan buku produk luar Tasik yang diyakini lebih hebat dari produk lokal. Para dosen banyak meng”impor” ilmu dari kota lainnya dan jarang mereka mengkomodifikasi ilmu yang dibangun atas local wisdomnya.
Ketidak mampuan merumuskan ilmu “mandiri” secara lokal adalah salah satu kelemahan orang Tasik, sehingga tidak pernah ditemukan produk indigineous (asli) Tasikmalaya. Kita bisa paham atas prilaku itu bila ilmu yang ditransfernya adalah grand theory, itu normal. Namun bila orang Tasik tidak mengembangkan ilmunya, dan mengambil pengembangan ilmuwan orang lain, maka itu kurang dibenarkan.
Ilmuwan Tasik masih belum bisa bersaing dengan para intelektual yang datang dari Jakarta dan kota besar lainnya. Orang Tasik merasa marjinal dan berlebihan dalam menghadapi intelektual Bandung, misalnya. Mereka menganggap intelektual di luar kotanya lebih valid, lebih berkualitas, lebih “benar” dan lebih afdhol. Padahal dalam kenyataannya belum tentu juga. Bila melihat dari berjibunnya guru besar di kota besar dengan universitas besar, maka itu bisa dibenarkan. Namun, bila kita amati pergerakan daya intelektual kota besar semisal Bandung, sepertinya mereka juga belum maju-maju amat. Orang Tasik bisa mengejarnya.