Sebagai praktisi pendidikan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), saya sedikit banyak paham tentang sepak terjang Program Studi (Prodi) Ekonomi Syariah (ES). Prodi ini secara bertahap dan meyakinkan dapat dipercaya publik atas konstribusinya dalam dunia pendidikan dan dunia perbankan syariah. Prodi ES telah merubah jati dirinya dari prodi yang tidak dilirik oleh masyarakat menjadi prodi yang vis a visdengan prodi Ekonomi konvensional.
Pada tahun 2000an saat saya menjadi mahasiswa, terjadi tarik menarik antar prodi ES pada Fakultas Agama Islam (FAI) dengan Fakultas Ekonomi (FE) di universitas dimana saya belajar. Tarik menarik ini terjadi diakibatkan oleh prodi ES yang dianggap menjadi beban oleh fakultas. ES tidak begitu diminati oleh masyarakat sehingga biaya operasionalnya harus dibiayai secara subsidi hilang. ES yang lahir dari rahim FAI semakin terkucilkan, manakala FE tidak mau menerima ia sebagai “anak tirinya”. Akhirnya ES masih berdiri tertatih-tatih dalam buaian FAI.
Dalam konteks keilmuan, ES memiliki dua ilmu yang berbeda. Satu sisi fikih mu’amalah yang menjadi fondasi ES sebagai norma ekonomi bersyariat, di sisi lain keilmuan praktis semisal akuntansi, manajemen dan ekonomi makro dan mikro banyak dikembangkan oleh FE yang konvensional. Dua perbedaan rahim inilah yang menjadi kebingungan para dosen ES untuk berlindung. Satu sisi ia harus menggunakan segala terminologi disiplin ilmu yang banyak dikembangkan oleh fikih dan ushul fikih di dunia FAI tapi di sisi lainnya FAI tidak punya kemampuan mumpuni untuk mengembangakan ekonomi sehebat perkembangan ekonomi di tubuh FE. Inilah yang menjadi dilema sehingga terpinggirnya ES sebagai “anak” yang tidak diinginkan kelahirannya oleh orang tua.
Dengan berbagai upaya dan banting tulang para petinggi FAI, saya melihat adanya pergerakan meyakinkan atas prodi ES menjadi prodi yang semakin diakui. ES yang tidak “diterima” di FE semakin berjuang untuk eksis sebagai prodi yang harus benar-benar diakui oleh masyarakat, terutama masyarakat muslim. Dengan berbagai metamorfosis penamaan prodi, dari asal prodi bernama Ekonomi Islam, lalu berubah menjadi Manajemen Keuangan Syariah dan kini menjadi Ekonomi Syariah. Agar lebih mudah disebutkan, para mahasiswa memendekan dengan akronim “eksyar” atau “ekos”.
Setelah perjuangan yang begitu panjang, akhirnya pada tahun 2012an prodi ES ini mulai dibuka di PTKI di seluruh Indonesia. Setiap PTKI yang membuka prodi ES, semakin percaya diri atas pembukaan prodi baru itu, sehingga dengan percaya diri PTKI memperkenalkan prodi ES dengan sangat masif di masyarakat. Akhirnya, mahasiswa ES yang dulu hanya dihitung satuan peminatnya kini bisa puluhan bahkan ratusan. Awalnya, ES adalah prodi yang terbatas pada PTKI, sekarang ditempat saya saja setiap PTKIS membuka prodi ini. Ada sekitar 4 PTKI yang membuka prodi ES sebagai basis prodi yang menjadi andalan di FAI atau Fakultas Syariah. Inilah yang saya sebut spektakuler. Ini melebihi ekspektasi para pemikirnya.
Ada beberapa alasan kenapa ES di PTKI dapat dengan sukses meyakinkan dan dapat menjadi tujuan masyarakat generasi muda untuk mempelajarinya secara spektakuler. Pertama,dimensi ekonomis. PTKI secara umum tidak menjadikan sebuah lembaga pendidikan sebagai alat transaksi keuangan. PTKI bukanlah institusi yang berniat untuk mencari keuntungan sebesar-besarnyan secara finansial. Mereka hanya bertujuan utama untuk menyebarkan ilmu seluas-luasnya dan membantu kaum muslim untuk mendapatkan akses pendidikan semudah-mudahnya.
Ini berbeda dengan Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang dalam praktiknya lebih banyak untuk mendapatkan keuntungan finasial lebih, walaupun dengan alasan yang variatif. Apakah dukungan besarnya finansial untuk melakukan perbaikan fasilitas yang kembali lagi kepada yang membayarnya, atau finansial untuk menyejahterakan dosen dan stafnya sebagai stimulan untuk meningkatkan pelayanan pendidikannya. Yang pasti biaya sekolah di PTU biasanya lebih besar dari PTKI.
Ada perbedaan yang signifikan antara PTKI dan PTU dalam sisi dana, sehingga masyarakat dengan ekonomi lebih (kaum behave)akan memilih PTU sebagai tujuan utama dan pertama, sedangkan kaum ekonomi kurang akan segera mempertimbangkan untuk memilih PTKI. Nah, bila kita hitung, seberapa besar kelompok yang termasuk behave dan unbehave di negeri ini? Saya kira Anda bisa menebaknya. Kaum dengan ekonomi lemah dapat dipastikan lebih memilih PTKI daripada PTU yang biayanya selangit. Bisa jadi kelompok inilah yang menjadi alasan menjamurnya PTKI di daerah.
Keduadimensi networking. PTKI lebih banyak dilahirkan oleh organisasi kemasyarakatan berbasis agama. NU, Muhammadiyah dan ormas keagamaan lainnya banyak menginisiasi berdirinya PTKI. Yang paling banyak adalah pesantren di samping organisasi yang peduli dengan Islam. Sebagai lembaga pendidikan tertua setelah pendidikan keluarga, pesantren bermetamorfosis menjadi bagian penting dalam pendirian dan pengembangan PTKI. Mereka memiliki jaringan yang sangat luas dari desa sampai kota. Di daerah saya, setiap RT bisa jadi memiliki satu pesantren, walaupun kategorinya kecil. Namun, setiap kecilnya pesantren, mereka memiliki induk pesantren yang besar yang memiliki perguruan tinggi.
Tasikmalaya, sebagai contoh, memiliki pemetaan perguruan tinggi berbasis pesantren. Di sebelah utara ada Institut Agama Islam Latifah Mubarokiah di Pesantren Suryalaya. Di sebelah barat ada Pesantren Cipasung dengan Institut Agama Islam Cipasung. Di wilayah selatan ada pesantren Miftahul Huda dengan STAI Assofa dan di sebelah timur ada Pesantren Darussalam dengan Institut Agama Islam Darussalam Ciamis. Di tengah kota ada STAI Tasikmalaya dan STIE Ar Risalah di Pesantren Ar Risalah. Semua perguruan tinggi yang saya sebut tadi memiliki prodi SE sebagai bagian dari pengabdian pendidikannya. Pesantren inipun memiliki jaringan alumni yang sangat luas.
Dengan luasnya jaringan, maka prodi ES menjadi pilihan yang cerdas bagi para alumni untuk memasukan anaknya apabila mereka ingin menjadikan anaknya sebagai ahli ekonomi. Biasanya diantara putra putri alumni pesantren, mereka pasti mengirimkan anak-anaknya ke pesantren dimana mereka dulu belajar. Bila ES hadir sebagai bagian dari pesantren, maka ketertarikan para alumni untuk mengirimkan putra putrinya ke PTKI semakin besar dan mereka memiliki dua keuntungan, belajar nyantrendan belajar ekonomi. Double profit kan?