Oleh: Zaki Mubarak
Saya memiliki dua kisah yang unik tentang Purwakarta, sebuah kabupaten di sebelah utara Ibu kota Provinsi Jawa Barat, Bandung. Yang pertama itu rahasia saya dan yang kedua adalah tentang kunjungan tiga bulan lalu bersama para mahasiswa. Kunjungan itu diinisiasi oleh mahasiswa dan juga kegalauan mereka atas bupatinya yang nyeleneh. Siapa sangka, bupati yang alumni HMI itu dipersepsikan begitu kental dengan syirik, khurafat dan berhala. Mereka bertanya kepada saya atas pandangan bupati Purwakarta untuk mengubah secara radikal tentang budaya purwakarta yang sunda menjadi “Bali”. Ada dimensi perubahan keyakinan Sunda yang islami menjadi Bali yang kenal dengan dewanya.
Untuk menjawab secara konseptual dan empiris, maka saya harus bawa mereka ke lokus aslinya. Biar jawabannya langsung dari yang bersangkutan. Agar tidak ada fitnah dan prasangka atas ke “musyrik” an sang Bupati. Bagi saya ini adalah cara mendidik mereka untuk mengetahui cara membangun sebuah daerah, bagi mahasiswa ini adalah kuliah pembangunan dan sekaligus hiburan. Terlepas saya mempromosikan bupati yang mau nyalon Gubernur Jabar itu, saya menulis ini murni atas keterpanaan saya atas perubahan drastis Purwakarta sebagai kabupaten biasa, menjadi kabupaten penuh dengan sensasi, berwawasan pariwisata, dan yang paling penting kontroversi untuk menjadi Bali kedua di Indonesia.
Sebelum menganalisis tentang bagaimana bupati Dedi mendidik warganya untuk menjadi Balinya Jawa Barat, saya harus gambarkan dulu kunjungan saya ke purwakarta sebagai tamu terhormat beliau, sekaligus harus menjelaskan perasaan pertama saat datang, lalu perasaan setelah mendengar ceramahnya dan perasaan setelah pulang. Mudah-mudahan dengan cerita pribadi ini, Anda mampu melihat secara jernih bagaimana cara membangun sebuah kota yang biasa menjadi luar biasa. Bila Anda tidak bisa merasakan apa yang saya rasakan, paling tidak anda terhibur dengan tulisan saya ini. Mana yang Anda pilih? Saya ingin Anda memilih yang pertama.
Awal ide ke purwakarta hadir karena ada informasi adanya “Air Mancur Sribaduga Situ Buleud”. Bagi mahasiswa ini akan menjadi tempat selfie dan groufie yang sangat indah dan bisa disebar melalui media sosial. Mereka berasumsi bahwa berfoto ria di depan Airmancur yang katanya terbesar di Asean itu akan menambah nilai foto mereka dipandang oleh teman-temannya. Setelah kita sepakat mengunjungi beberapa perguruan tinggi untuk acara resmi, kami pun memutuskan Purwakarta sebagai tujuan akhir, terutama air mancur. Dalam hati, saya berkeinginan ingin mengetahui apa sebab Bupati merombak tatanan Purwakarta menjadi Bali Jabar dan landasan filosofi apa yang beliau sandarkan.
Setelah melakukan perjalanan dan joint lecture dengan berbagai ahli di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung, akhirnya kami berangkat ke Purwakarta. Sang bupati telah menelpon kami berkali-kali karena ingin secepatnya bertemu. Entah apa alasannya beliau ingin cepat bertemu kami, apakah ini ada hubungan dengan Pilgub Jabar atau karena kesamaan platform orgnisasi mahasiswa, atau mungkin rindu ke saya. Saya tak tahu. Kalau ia rindu saya, saya pun rindu beliau, dengan rindu dimensi yang berbeda dengan rindu ke istri saya yah. Awas tidak boleh interpretaasi macam-macam.
Karena ada keterlambatan bis dan kegiatan jam karet di Bandung, maka kami pun tiba terlambat dan pak Bupati menghabiskan waktu bersama tamu yang lainnya. Pas saya dan para mahasiswa datang, aroma Bali sudah terpancar di jalan Purwakarta. Di jalan masuk ke Purwakarta saya melihat banyak patung ala Bali dengan ditempeli sarung yang khas kotak hitam putih. Ini berbeda dengan jalan perbatasan kabupaten lain di kota Jabar lainnya, yakni berupa gerbang yang khas. Di Purwakarta saya melihat hal yang sama di Bali, dimana patung besar menyambut kami dengan kemenyan di depannya yang dibakar. Saya katakan sama karena tiga tahun yang lalu saya satu minggu tinggal di Bali untuk liburan, bersama mahasiswa juga (baca: liburan gratis).
Ketika tiba di Balai Kota, aroma Bali kian menyerbak. Patung yang besar dengan balutan sarung kotak hitam putih ala Bali berdiri tegak di gerbang masuk. Di gedung pertemuan yang belakangan saya ketahui namanya bale paseban (pasebaan, berarti pengorbanan diri), arsitektur dan ornamen Bali kental sekali. Setiap tiang yang menyokong gedung dibalut dengan kain sarung yang sama dengan patung di gerbang dan di jalan tadi; kotak putih hitam. Di area masuk gedung, ada kereta kencana yang di”kultuskan” dengan disandingkan pada patung-patung yang menyeramkan. Kereta itu yang pada Agustus tahun kemarin di pakai Presiden Jokowi untuk membawa bendera Sang Saka Merah Putih. Ada patung semacam harimau dengan taring yang panjang, ada juga patung mirif barongsay yang biasa saya temui di Bali. Dan setiap jalanan di balaikota pun penuh dengan gambar-gambar khas Bali yang kompak.
Saat duduk di bale paseban, ada seorang kakek-kakek yang sedang membuat wayang ala khas sunda, si cepot. Bersamaan dengan itu, para PNS pemda yang bertugas untuk menjamu kami pun berseragam yang aneh bila dibandingkan dengan PNS daerah lain. Mereka menggunakan pakaian hitam dengan ikat kepala yang menurut saya seram. Keseraman itu pun ditambah dengan adanya bakar menyan yang menyengat hidung. Saya melihat ada aroma mistis di gedung ini. Karpet yang kami duduki pun bergambar harimau (saya menerka ini adalah harimau siliwangi). Rasanya empuk, namun saya merasakan bahwa keempukan itu agak menakutkan saya sebagai orang beriman. Takut ada aroma klenik yang bisa membuat saya musyrik. Pas saya tanya kepada mahasiswa, mereka pun merasakan hal yang sama.
Bukan hanya itu, gedung itu pun dikelilingi oleh kolam yang bergemuruh dengan pancuran air yang digerakan oleh pompa listrik. Airnya kelihatan bersih, tapi pas saya mau hirup, airnya tidak begitu suci dan seperti membahayakan bila diminum. Tuan rumah pun melarang saya untuk berwudhu di sana. Ketika saya meminta untuk sholat di bale Paseban, tuan rumah membolehkan tetapi dengan menawarkan agar lebih baik sholat di mesjid di sebelah gedung. Saya tidak tahu, kenapa saya tidak jadi solat di bale paseban itu. Saya akhirnya melakukan sholat di mesjid pemda di sebelahnya. Tapi apa yang saya dapatkan? Karpet mesjidnya bermotif harimau yang hampir mirip dengan di bale, dengan nuansa hitam dan putih yang sangat berbeda dengan mesjid kebanyakan. Yang saya tahu karpet mesjid biasanya berwarna hijau atau merah. Saya melihat ornamen Bali sangat menancap di semua gedung di sini.
Yang berbeda dari Bali adalah saya melihat ornamen sepanjang jalan bale kota menuju Sribaduga yang sangat indah di malam hari adalah modifikasi cetok untuk alat memperindah lampu jalanan. Belakangan saya tahu bahwa cetok (topi khas para petani terbuat dari bambu) itu khusus didatangkan dari Tasikmalaya sebagai pewaris kerajinan bambu. Saya melihat rangkaian cetok-cetok dengan kain yang berwarna warni membuat suasana malam di balekota itu sangat indah, berkesan dan meriah.