Lihat ke Halaman Asli

Tangisan Untuk Madrasah

Diperbarui: 8 Mei 2017   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tangisan Untuk Madrasah
Oleh: Zaki Mubarak

Entah kenapa saya mengangis, menangis sejadi-jadinya di Car Free Day (CFD) tadi pagi. Mungkin bagi Anda yang tak percaya, tidak kenapa, saya tidak memaksa Anda untuk percaya. Bukan rukun iman kan?. Sejak turun dari kendaraan bersama dua bocah, terdengar dentuman yang menggelegar dengan berbagai irama drum band di jalur CFD kota Tasikmalaya. Ya, kota yang menurut kebanyakan disebut kota santri, karena banyaknya santri di kota ini, tapi bagi para kritikus dipanggil kota cina, ya karena lebih dari separuh pusat perdagangan kota Tasik sudah dikuasai para kaum Tionghoa. Ternyata drum band itu adalah sebuah acara yang biasa di mata orang biasa, tapi di mata saya, bukan berarti saya orang luar biasa atau biasa di luar, saya melihat sesuatu yang mendalam atas ini. Acara itu, entah apa nama sebenarnya, tapi seperti parade Madrasah. Tagline yang dipromosikan adalah “Madrasah lebih baik, lebih baik Madrasah”. Berbagai tingkat, dari PAUDI, RA, MI, MTs dan MA terlihat menyesaki jalur CFD Jl. KH Zaenal Mustofa. Mereka berantai tidak terputus dari sejak tugu Asma’ul Husna sampai Mesjid Agung, ya sekitar lebih kurang 2 KM.

Bagi setiap komponen yang menginisiasi dan melihat acara ini mungkin memiliki ragam penilaian dan pandangan. Bagi para pejabat kementerian, mungkin ini adalah show of power tentang begitu kuatnya lembaga di bawah kementeriannya, bagi para guru pengikut parade mungkin ini adalah sebuah upaya bagaimana meyakinkan kepada public bahwa Madrasah juga lebih baik dari yang lainnya, bagi para siswa peserta parade mungkin akan merasa senang atas kegiatan ini, itung-itung mengurangi kepenatan yang biasa dilakukan di madrasah yang super relijius, bergeser ke kota yang agak sekuler. Mungkin bagi massa antagonis, mereka akan bilang, kegiatan yang mengganggu, karena menyesakan jalan yang memang tiap minggu sesak, atau bagi mereka yang pro, mereka akan terhibur dengan kegiatan tambahan, itung-itung sebagai bonus ritual CFD pekan ini. Tapi, bagi saya ini sangat berbeda. Saya melihat ini adalah kemenangan sehari Madrasah atas kompetisi persekolahan di negeri ini, walaupun mereka tidak tahu, apakah itu adalah kemenagan sebenarnya atau semu. Ini bagai pengantin yang lagi jadi raja sehari. Setelah resepsi yang glamour itu selesai, Tidak tahu, bisa makan apa tidak, isi amplop itu cukup apa tidak untuk mengganti ongkos resepsinya, atau adakah keluarga yang terus membantunya untuk terus hidup.

Saya menangis karena saya sedikit banyak tahu bagaimana Madrasah berjuang di negeri ini, dari mulai berdiri sampai saat ini. Dari mulai booming sampai kering, dari mulai disukai sampai di-nyinyir-i, dari mulai bermarwah sampai dianggap tak berdarah. Baiklah, saya harus jelaskan dulu madrasah yang membuat saya nagis tersebut dari berbagai dimensi, terutama dimensi ketidak adilan negeri untuk lembaga yang diinisiasi oleh kyai ini. Madrasah adalah persekolahan yang memiliki ciri khas Islam. Definisi ini definisi formal oleh pemerintah sebagai pembeda dengan sekolah. Pada faktanya definisi ini telah terdistorsi oleh makna definisi tersebut, karena madrasah telah memiliki saingan kedua yaitu sekolah yang mencirikan dirinya madrasah, apakah itu dengan penambahan identitas Islam Terpadu (IT, karena tidak ada Madrasah IT), atau dengan menggunkana Sekolah Plus. Apapun itu namanya, madrasah memilki saingan berat yang bernama sekolah dengan segala derivasi yang ditambalnya. Madrasah merupakan lembaga hasil kreasi pemikiran para ulama Islam untuk mensintesiskan persekolahan yang hadir memboncengi Belanda di negeri ini. Sekolah dengan sistem kelas, bertingkat, dokumentasi dan administrasi tertulis, sistematis, berwaktu, dan memiliki tujuan dan metodologi yang jelas, menjadi ide untuk menikahkan sistem pesantren (sebagai antitesa sekolah) dengan persekolahan. Kelahiran anak hasil pernikahan itu dinamai madrasah. Karena orang tua aselinya adalah pesantren, maka ideologi pesantren lebih dominan pada lembaga ini, walaupun belakangan kurikulum madrasah dipaksa untuk sama dengan sekolah dengan dalih standarisasi nasional. Yang membedakan hanya Pendidikan Agama Islam yang menjadi Fikih, SKI, Qurdist, Akidah Akhlak, dan bahkan Bahasa Arab.

Saya tidak menangis untuk urusan sejarah itu. Saya hanya menangisi prilaku negeri ini yang tidak berimbang kepada madrasah. Kekalahan telak madrasah atas persekolahan sejak awal kemerdekaan hingga kini sudah kentara. MI tidak bisa bersaing dengan SD. Saya masih ingat MI di pusat kota Tasikmalaya hampir bangkrut tidak bersaing dengan SD di sebelahnya. Jumlah siswa MI 9 orang, sedang SD overload sehingga harus membuat SD X1, X2, dan X3. Begitupun MTs tidak mampu bersaing dengan SMP, MA dengan SMA bahkan di perguruan tinggi pun,

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) seperti STAI (N), IAI (N) dan UI(N) tidak mampu bersaing dengan Perguruan tinggi umum (PTU) macam Unpad, ITB, UPI dan lainnya. Bagi beberapa daerah, terutama daerah yang peran ulamanya lebih mengakar seperti Cianjur, agak sedikit berbeda, MI, MTs lebih disukai ketimbang kompetitornya. Tentu beberapa daerah itu perlu diteliti alasannya, tapi yang jelas untuk desa pedalaman, sepertinya kompetisi ini tidak terlalu kontras, sehingga bukan bagian dari tangisan saya. Ada beberapa dimensi yang harus saya analisis atas tangisan saya untuk madrasah.

(1) dimensi kelembagaan. Sejak merdeka, Indonesia telah ditantang untuk menentukan pola pendidikannya. Satu sisi lembaga pesantren telah menancap di negeri ini untuk waktu yang sangat lama, di sisi lain persekolahan yang dianggap lebih modern, lebih prospektif untuk diadopsi pemerintah. Akhirnya pemerintah memilih sekolah sebagai persekolahan mainstream ketimbang pesantren, dan menantang pesantren untuk memiliki sekolah yang sama. Ketika sekolah dipilih, maka lahirlah kementerian pendidikan. Sekolah ini berkiblat ke Belanda, dimana kurikulum dan manajemennya melanjutkan tradisi persekolahan ala Belanda. Sedangkan pesantren dengan Madrasahnya melanjutkan tradisi Madrasah Diniah (Sekolah Agama) dengan format yang lebih mendekati kurikulum ala Belanda yang disyaratkan oleh pemerintah. Pemerintah memandang ada perbedaan signifikan antara sekolah dan madrasah, sehingga pemerintah memutuskan untuk memasukan madrasah di kementerian Agama (Padahal madarasah kan pendidikan, bukankah urusan kementerian pendidikan?). 

Dengan pola kelembagaan inilah yang membuat madrasah dan sekolah berkompetisi dengan tidak sehat. Bagaimana sulitnya guru PAI yang bernaung di menteri agama tetapi bekerja di sekolah dibawah menteri pendidikan, bagaimana bingungnya PTKI untuk membuat jurusan umum (tadris), bagaimana rancunya kewenangan madrasah dan sekolah dalam berbagai kegiatan akademik dan lainnya adalah beberapa contoh faktual terjadinya kompetisi madrasah dan sekolah karena kelembagaan yang berbeda. Dikotomi ini berdampak kepada faktor psikologis siswa dan masyarakat tentang madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan. Lulusan madrasah terlihat kurang percaya diri menghadapi lulusan sekolah, kengkuhan lulusan ITB lebih hebat dibanding lulusan UIN, dan banyak ketimpangan lainnya.

(2) dimensi anggaran. 20% anggaran pendidikan dari APBN harusnya dinikmati bersama oleh sekolah dan madrasah. Secara konsep tidak ada perbedaan madrasah dan sekolah, baik dari kesempatan anggaran, persamaan fasilitas, persamaan citra dan persamaan lainnya, namun faktanya itu tidak berjalan dengan baik. Madrasah selalu membuntuti sekolah dalam segala aspek. K13 di madrasaha itu belakangan menunggu kebijakan di sekolah, permendiknas selalu jadi acuan peraturan menteri agama (PMA) untuk madrasah, pelatihan guru madrasah menunggu selesainya pelatihan guru sekolah, dan lain sebagainya. Landasan utama dari keterlambatan madrasah ini adalah kebijakan anggaran, atau kerennya politik anggaran. 

Kementerian Agama tidak hanya mengurus pendidikan formal, disana ada urusan haji yang ritualnya tahunan, disana ada urusan wakaf yang penuh dengan masalah, disana ada urusan bimbingan masyarakat berbagai agama, dan di sana pula segala proses dan dampak dari pernikahan diurus, dari suscatin, perkawinan, perceraian, waris dan pengadilan agama. Jadi, menteri agama memilki konsentrasi yang lebih banyak ketimbang kementerian pendidikan. Lebih-lebih era presiden Jokowi telah mmemisahkan urusan pendidikan dikdasmen di kementerian pendidikan dan perguruan tinggi di masukan kepada kementerian riset dan pendidikan tinggi. 

Nah, pendidikan tinggi di kementerian Agama masih ada di sana, jadi begitu mengerikannya tugas dan fungsi kementerian agama. Ngurus urusan dunia sampai akhirat. Bagaimana anggarannya? Itulah masalah pokoknya, kementerian ini tidak memiliki anggaran yang banyak sebanyak kementerian lainnya. Jadi, logis bila madrasah selalu ketinggalan. Bahan bakarnya terlalu sedikit untuk bodi dan mesin bertenaga 2000cc.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline