Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Katrol: Sebagai Upaya Regenerasi Anak Bangsa

Diperbarui: 6 Mei 2017   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan Katrol: Sebuah Upaya Regenerasi Anak Bangsa
Oleh: Zaki Mubarak

Sore ini saya mendapatkan nutrisi ilmu yang berharga. Dua orang mahasiswa pascasarjana dari Universitas di USA datang untuk belajar banyak hal dari diri yang ga seberapa ini. Awalnya ingin belajar Bahasa Indonesia, tetapi dalam interaksinya mereka (suami dan istri) meminta saya untuk belajar bersama tentang inter-cultural studies. Hal ini mengingat saya kepada sebuah lembaga yang bagi saya telah memberikan konstribusi pemikiran tentang relasi agama dan social bagi saya bernama Center for Religious and Cross-cultural Study (CRCS) UGM, dimana saya menimba ilmu meneguk kehausan kehidupan social keagamaan. Bukan hanya itu, disana pula lah saya mendapat hal yang berharga bernama Pendidikan Katrol (PK). Hari ini pun, bersama para bule itu, saya menemukan begitu ampuhnya PK untuk meregenarasi Anak Bangsa. USA telah menerapkan PK sedemikian solid dan pekat, walaupun aral menghalang, walaupun perjuangan berat dan sangat menghabiskan energy. Mereka mengirimkan mahasiswa ke tempat yang jauh hanya untuk melihat Indonesia dari dekat, hanya mengetahui bagaimana Indonesia hidup, dan mengetahui orang Indonesia dari budaya, agama dan kehidupannya secara holistik. Mereka hebat, dan saya acungkan jempol empat jari untuk UGM dan USA dalam menginspirasi PK ini.

PK adalah hanya istilah saya saja yang mengacu kepada upaya lembaga pendidikan atau actor pendidik dalam mengkatrol akademik junior nya dalam meraih ilmu yang lebih luas dan memberikan kesempatan yang luas melalui fasilitas dan akses yang dimiliki senior untuk membesarkan “nama” juniornya. Tradisi ini sangat hebat dan membanggakan, dengan sistem ini regenerasi berjalan dengan baik, dan tongkat estafet kehidupan negara tidak terputus dan terjatuh atas egoisme pembesar negri yang tidak cukup besar jiwanya. Andy, seorang ahli (mungkin professor, saya tidak tahu) asal Amerika yang telah melanglang buana di Indonesia untuk membantu para pribumi dalam meningkatkan hasil pertanian melalui pendampingan para petani. Beberapa bulan terakhir, dia ditempatkan di Leuwisari dimana tempat yang jauh dan berbatu. Dengan kesungguhan hati untuk membantu Indonesia, ia dan istrinya, Teena begitu bersahaja untuk mengabdi di negeri orang dengan ilmunya dan tentunya untuk membantu negaranya. Tory dan Shane adalah sosok yang dikirimkan oleh negerinya untuk belajar banyak bagaimana Andy dan Tyna hidup di Indonesia dan mengabdi untuk kehidupan. Budaya Indonesia dan Indahnya alam Indonesia menjadi salah satu yang dititipkan kampusnya untuk dipelajari. Mereka begitu bersemangat dan bahu membahu untuk datang ke Indonesia dan tentu saja sebagai senior, Andy memfasilitasi mahasiswa ini 100%. Mereka tahu bahwa hidup dengan budaya dan Bahasa yang berbeda akan menyulitkan juniornya, sehingga dengan segala daya dan upaya, Andi dan Istrinya menyemangati dan menendorse mereka mengembara ke Indonesia, negara yang penuh misteri bagi mereka, negara yang tidak mudah ditaklukan dan negara yang alam bawah sadarnya belum move on dari kolonialisme.

Kasus tadi saya temui di UGM. Prof. Abdullah sebagai direktur pascasarjana waktu itu sangat berperan pada para juniornya. Saking berperannya, beliau dipanggilnya sebagai “nabi”nya CRCS. Setiap kesempatan manggung, dia selalu memperkenalkan, memberi kesempatan dan menempatkan juniornya untuk setara dengannya. Ia lebih senang duduk melihat juniornya presentasi hasil penelitiannya daripada harus dia sendiri. Ia rela nama besarnya jadi nomor dua dalam karya tulisan jurnalnya. Ia memberikan jaminan kepada semua klien untuk menggunakan jasa beliau dengan wakil juniornya. Ia tidak pernah merasa besar daripada juniornya, dan Ia hadir dimana juniornya mendapatkan masalah. Dengan kesetaraannya senior-junior ini, tidak pernah sedikit pun meruntuhkan nama besarnya, tidak pernah sekalipun keprofesorannya mengecil dan Ia tetap menjadi guru besar lulusan Belanda yang hebat. Saya paham, bahwa dalam konteks UGM itu, nabi adalah mereka yang memberi dan mengabdi juniornya dengan segala kemampuannya untuk setara bahkan melebihi dirinya. Itulah arti ketawadhuan pendidikan, itulah arti persahabatan yang membaikan, dan itulah arti ilmu sesungguhnya. Sukses manakala membuat orang lain sukses, bukan sebaliknya.

Saya penasaran, benar-benar penasarana dengan konsep PK ini. Saya ingin telususri apakah orang tua kita dahulu telah melaksanakan sistem hebat ini. Kepala saya berputar dan menemukan satu petunjuk utuh dan membahagiakan. Ya, sangat membahagiakan. Ternyata konsep ini telah hadir berabad lalu di bumi kita, Indonesia. Ia adalah sistem pesantren yang oleh orang modern dibilang lembaga tradisional, ortodok, budug, dan kampungan serta sarungan. Saya melihat dan merasakan sendiri bagaimana sistem PK ini melingkar membentuk sebuah jaringan yang oleh Azyumardi Azra di sebut sebagai jaringan ulama. Kyai, dalam dimensinya sebagai patron-klien atas santrinya telah sangat hebat dalam membentuk santrinya sebagai generasi penerus ulama masa depan. Ketika seorang santri senior yang sudah dianggap mampu dan mumpuni dari sisi tauhid, fikih, qurdist, dan yang paling penting tasawuf serta telah dewasa akan prilaku dan ucapannya, maka akan dicarikan sebuah tempat untuk mukim. Bagi santri yang tergolong darah biru kyia, mungkin tidak terlalu sulit untuk menempatkan, karena tinggal mengantarkan pulang untuk menjadi kyai jadi. Namun tidak semua santri yang senior adalah darah biru kyai, sehingga secara penuh, kyai tanggung atas pencarian serta penempatan santri di sebuah tempat untuk membuka ladang dakwah baru. Bukan hanya diantarkan, tapi diberikan modal yaitu santri paling junior di pesantrennya untuk menunjukan kepada dunia bahwa dia layak disebut kyai dan diikuti oleh santri. Disamping itu, hal yang paling yahut adalah kyai memberikan modal pokok teman hidup yang pastinya berkualitas seberkualitas santri senior yang established. Istri inilah yang dipilihkan kyai untuk mendampingi santri-kyai ini dalam semua perjuangannya. Ia bagai gula dan manisnya, garam dan asinnya, soda dan gelembungnya, ikan dan airnya. Keduanya telah disiapkan untuk menjadi pasangan Kyai-Nyai untuk bertempur di medan laga bernama dakwah. Bisa dipastikan bahwa turunan mereka adalah turunan yang berkualitas karena turun dari gen yang berkualitas, dibuat saat berkualitas, dan tentu saja di tempat percumbuan yang berkualitas pula. Jangan tanya bagaimana membuatnya, saya tidak tahu. Mari bertanya kepada rumput yang tidak bergoyang.

Beberapa bulan yang lalu, saya mendengar ada symposium para rector di Indonesia yang membicarakan masalah besar dan rumit dalam pendidikan tinggi kita. Masalah pelik itu adalah “krisis professor”. Mereka sangat khawatir bahwa para ilmuwan yang bergelar guru besar itu sudah menyusut dan baru-baru ini kemenristek dikti siap mengekspor professor dari luar negeri. Ada apa gerangan dengan pendidikan ini. Sudah kita malu mengekspor segala hal dari luar negeri, dari sabun sampai singkong, dari mainan anak sampai mainan dewasa ala ferari, dari professional muda sampai kentut PSK yang bau itu. Nah, sekarang dengan krisis ini, pemerintah mau mengekspor professor, pemerintah kita luar biasa, luar biasa parahnya. Kualitas negara kita seperti hotel bintang 7, tapi dikelola dengan manajemen hotel melati. Malu saya.

Akar masalahnya adalah ada pada regenerasi. Coba kalau para professor meniru kyai kita, professor UGM yang humble itu, atau Mr Andy dan Mrs Teena yang berjuang untuk juniornya di sini, di tempat yang jauh dari asal lahirnya, mungkin tidak ada krisis seperti ini. Kalau krisis listrik kita kita sedikit bisa berkelit, kalau krisis energy kita bisa berargumen, kalau krisis banjir, kita bisa beralibi, tapi kalau krisis professor, ini bagaikan melempar ta** kepada wajah para ilmuan kita. Ada yang salah dengan mereka. Bisa jadi, mereka sudah tidak mau berbagi dengan juniornya, bisa jadi mereka tidak mau berkompetisi dengan juniornya karena kalap atas kekalahan yang telak, bisa jadi mereka terlalu enak dengan keguru besaran yang membesarkan kepalanya sehingga tak mau orang lain tau enaknya, bisa jadi mereka terlalu sibuk dengan urusan dirinya sehingga lupa bahwa mati mengintainya, siapa yang akan melanjutkan?. Bisa jadi, bisa jadi, bisa jadi. Ah sudahlah, saya pasti di marahi. Itu fitnah, itu prasangka buruk, itu tidak baik, itu keji dan itu membuat mereka malu. Bila malu, bukalah akses kami ke jalanmu, ulurkan tanganmu untuk menjadi sahabat terbaikmu, berilah kami dana seperti yang kau terima sebelum jadi seperti ini, bawalah kami ke dunia mu, agar do’a kami menyertai dalam kedamaianmu nanti.

Bagi pemerintah, plis deh. Jangan lebay membuat aturan yang rumit. Bila syarat mendapatkan SIM itu adalah kemahiran dan keterampilan menyetir mobil, maka tidak akan ada yang datang ke polantas, jika syarat jadi guru itu harus guru yang hebat, maka tidak akan ada guru yang menggantikan saat ini, bila syarat menjadi orang besar itu adalah kebesaran orang itu, maka tidak ada satupun kebesaran tanpa lahir dari kecilnya orang. Tidak ada angka 10 manakala kita tidak menghitungnya dari 1-2-3. Bila keketatan kita dikarenakan standar negara barat yang brengsek itu, maka kitalah korbannya. Korban kalahnya kompetisi yang mematikan ini. Ujungnya, kita di jajah juga dengan cara yang berbeda. []

Untuk mereka yang menyemangati saya.
Tahlil di atas bumi para yatim. Semoga mereka jadi orang hebat.
6/5/17

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline