Lihat ke Halaman Asli

Beda Kyai Pesantren dan Guru Sekolah

Diperbarui: 5 Mei 2017   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beda Kyai Pesantren dan Guru Sekolah
Oleh: Zaki Mubarak

Saya adalah orang paling beruntung di dunia. Bagaimana tidak, saya mengenal dua sosok yang paham tentang urusan dunia di satu sisi dan mengerti urusan akhirat di sisi lain, sosok itu adalah Kyai dan Guru. Dalam kasus yang lain, mungkin sosok ini menyatu dalam satu individu. Seperti yang selalu saya temukan dalam diri ayah saya, guru-guru saya di pesantren bahkan saya temukan pada ulama-ulama besar yang saya temukan di media baca. Untuk urusan dosen, saya belum pernah diajari oleh individu ini, karena saya adalah orang yang “murtad” ilmu, atau Bahasa lainnya tidak linier. Sepanjang usia saya, tentunya sepanjang saya ingat, hidup saya tidak pernah lepas dari peran sosok ini, baik di lembaga formal, informal, non formal dan di universitas kehidupan yang sangat luas ini. Jadi untuk topik ini, saya sedikit lebih paham dari Anda semua. Dilarang protes ya!

Kyai adalah guru di pesantren, sedang guru di sekolah adalah pengajar di persekolahan. Ada beberapa perbedaan penting yang bagi sebagian orang paham, tapi sebagiannya susah membedakannya. Saya akan bagi perbedaannya dengan ragam kategori, agar mudah dipahami dan space otak pembaca tidak membutuhkan up grade soft ware yang menjelimet.

(1) Dimensi asal usul. Kyai adalah sebutan orang yang mengerti agama pengganti ulama di Jawa. Di Sunda ada Ajeungan, di Sumatra ada Buya, dan daerah lainnya memiliki istilah beragam lainnya. Isinya sama; orang yang dipandang memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni. Anehnya, Kyai juga berdampak biologis dalam penyebutan keturunannya, tarohlah Gus dan Cak untuk orang Jawa, Ceng dan Ang untuk Garut, Akang dan Kakang untuk Tasik, dan lainnya. Jadi Kyai adalah sebutan individu yang memilki ilmu agama, secara sosiologis diakui keilmuannya dan menjadi salah satu komponen penting masyarakat dan secara biologis berdampak menjadi turunan “darah biru” untuk kerajaan yang beenama pesantren. Dalam kasus ini, jangan samakan istilah kyai untuk nama beberapa kerbau, karena disamping istilah kyai tedahulu, banyak nama kyai dikhususkan untuk nama kerbau, seperti kyai Kanjeng untuk nama kerbau kramat di keraton Surakarta.

Guru berasal dari istilah yang sama dengan Kyai. Ia merupakan sebutan ahli dalam bidang agama. Kalau kyai lebih cenderung untuk agama Islam, sedang guru adalah untuk Hindu. Sejatinya Kyai-Guru berakar dari budaya yang sama yakni budaya Hindu. Saya memilki pendapat bahwa penamaan istilah Kyai untuk menghindari plagiasi nomenklatur ahli agama di Hindu sehingga diambillah istilah “Kyai”. Kenapa bukan ustadz, karena Islam masuk ke Indonesia bukan berangkat dari ruang kosong, jadi resistensi penggunakan istilah ustadz yang Arab hadir karena penolakan hal asing dalam budaya saat itu. Mungkin hari ini sudah berubah, dimana istilah ustadz hampir digunakan untuk mengganti mereka yang paham agama Islam. Kembali ke Guru, saat ini bermetamorfosis menjadi istilah lain dari sekedar makna awalnya. Ia adalah pengganti pengajar di sekolah. Guru memilki “lawan” bernama murid (untuk madrasah) dan siswa (untuk sekolah, berawal dari taman siswa). Jadi Guru dalam konteks asal usul memiliki kaitan yang sama dalam definisinya, namun secara perlahan pertentangan teologis telah merubah definisi dengan pertimbangan psikologis dan sosiologis. Ini normal dan tidak usah disesali. Ini bukan masalah tidak punya uang yang membikin kita sedih, ini hanya perebutan definisi yang harus kita terima. Gitu aja kok repot.

(2) Dimensi profesi. Saya yakin haqqul yakin bahwa kyia bukan profesi. Karena profesi harus memiliki kualifikasi dengan standar tertentu. Kyai tidak secara rigid ditempuh dengan standar dimaksud. Standar ini biasanya tertulis, indikatornya jelas dan empiris. Standar berkembang dalam dunia positivistic-behaviorism, yang tidak berlaku pada dunia teologis-sosiologis. Kyai berangkat dan diangkat dalam dunia social dengan indicator ideologis. Jadi kyai bila dipanggil sebagai profesi, ia mesti keluar dari pakem indicator dunia empiris-positivistik. Bingung ya? Sengaja saya gunakan istilah keren biar Anda bingung. Saya senang Anda bingung.Bukti kyai bukann profesi, Ia tidak jelas pekerjaan dan gajinya. Di satu waktu seorang kyai bisa jadi guru di masjid, bisa jadi dokter tanpa apotek, bisa jadi konsultan jodoh, bisa jadi pawing Jin, bahkan yang lagi popular jadi politisi. Hebatnya kyai bisa mengalahkan politikus yang studi di Fisipol atau kuliah dengan derajat yang sangat tinggi. Kyai lahir dari dunia pesantren. Santri bisa bermetmorfosis menjadi kyai manakala dia membangun atau melanjutkan pendidikan pesantren dan masyarakan telah berkonsensus untuk memanggil dia sebagai kyai. Jadi kyai adalah profesi klasik dengan berbagai keterampilan multi, dia harus hebat, mengerti ilmu agama, ilmu ghaib, ilmu kedokteran dan ilmu percintaan. Hebat sekali kyai ini.

Guru adalah profesi. Lihat saja postingan saya sebelumnya tentang guru. Disebut profesi karena telah menyelesaikan kualifikasi tertentu, di Indonesia kualifikasi ini level 7 KKNI. Ga usah bingung tentang level ini, karena levelnya tidak semudah menerka level pedasnya Bon Cabe. Bukti guru adalah profesi, pemerintah telah menyediakan 20% anggaran pendidikan yang sebagiannya untuk membayar tunjangan profesi, yang sederhana oleh guru dipanggil sertifikasi. Guru berprofesi sebagai pengajar (teacher). Definisi pengajar menjadi luas dengan karena perluasan peran guru. Ia sebagai motivator, prompter, manager, researcher, collaborator, administrator dan or or yang lainnya. Saking banyaknya peran, guru potong kompas, saya itu teacher. Mengajar saja. Ceramah saja. Sampaikan materi saja. Kholas. Sejatinya, sebagai guru memilki peran yang sangat banyak, sehingga profesi guru menurut saya adalah profesi yang berat. Disamping objeknya adalah manusia yang misterius, guru pun harus memiliki keahlian taktis yang sulit dikerjakan bagi orang yang tidak paham keguruan. Jadi bila dia tidak belajar dari fakultas keguruan atau tarbiyah, bisa jadi ini yang disebut Malpraktik. Sadis, bukan?.

(3) dimensi penghargaan dan penghormatan. Kyai memiliki kekhasan dalam bekerja. Jika ia mengajar, pijakannya adalah pengabdian. Apapun bentuk pekerjaannya, pengabdian kepada masyarakat adalah dasarnya. Derajat pengabdian ini lebih tinggi dari pengabdian kepada masyarakat ala tridarma perguruan tinggi. Tidak ada tuntutan dari pengabdian ini, ikhlas, tawakal, dan diakhiri dengan tawadhu. Dengan model ini, masyarakat jatuh cinta. Bagaimana tidak, prilaku ini sangat fantastis di hadapan masyarakat. Ujungnya, penghargaan dan penghormatan kepada kyai melebihi profesi apapun di dunia Indonesia ini. Penghargaan sosiologis-psikologis-inmaterialis adalah penghargaan tertinggi yang didapatkan oleh kyai. Tapi kyai yang benar-benar kyai, bukan kyai jalanan yang banyak tebar pesona dengan tujuan terselubung. Sekali lagi kyai yang benar-benar kyai, yang memilki instrument ikhlas di hatinya, tawakal di dadanya dan tawadhu di sanubarinya.

Guru menjadi kelas kedua bila disandingkan dengan kyai. Ia sama persis memilki harga dan hormat seperti kyai, mungkin beda 25 point. Guru bekerja atas tuntutan profesi, administrative, rigid dan terjadwal. Pengabdian bisa menjadi pijakan mereka, walaupun tidak sedikit yang menjadikan pengabdian sebagai basis kemunafikan. Mereka bekerja untuk mendapatkan uang. Bagi guru tipe ini, penghargaan dan penghormatan dihargai dengan slip gaji bulanan yang diterima. Setelah itu, tidak ada yang tersisa. Uang adalah tujuannya, dan mereka telah mendapatkan penghargaan dan kehormatan yang diinginkan. Bisa jadi, harga dirinya selebar kwitansi yang di terimanya setiap bulan. Saya yakin, guru ini sangat sedikit di kita, walaupun berpotensi membesar baru-baru ini. Guru yang mirif kyai memilki jumlah yang banyak. Mereka berprofesi guru dengan hati kyai. Ia pewaris nabi berbaju besi. Ia baris kedua untuk mendapatkan syafaat Rosululloh. Ia pengabdi ilmu, yang dengan segala pengorbanannya telah menjadi sosok yang bersahaja di hadapan muridnya. Ia mengeluh pada Tuhan atas perlakuan penguasa kepadanya. Ia hanya bisa diam. Demo bukan pilihannya, Doa adalah bagian hidupnya dan Air mata kesedihan atas ketidak berhasilan muridnya menjadi kedalaman pribadinya. Ia malaikat kecil yang bersepeda kumbang Umar Bakri. Walau saya pesimis dengan guru tipe ini, tapi saya yakin, Anda tahu siapa guru tipe ini yang pernah di dekat Anda.

(4) dimensi cara mengajar, (5) dimensi ekonomi, (6) dimensi dampak perannya. Tiga dimensi ini perlu di bahas dalam tulisan yang lain. Semoga bisa bertemu kembali. Closisng statement yang harus saya sampaikan, siapapun Anda, Kyai atau Guru, Anda telah menanam benih ilahiah pada murid Anda. Benih ini yang akan mengantarkan Anda bertemu dengan ilahi secara tenang, ya ayyuhan nafsu mutmainnah, irji’I ila robbiki rodiyatan mardiyyah, fadhuli fi ibadi, wadhuli jannatii (maaf transliterasinya berantakan).

Subuh Balideug. Bapak Siaga itu adalah saya.
Untuk Istri tercinta, saya jatuh cinta kepadamu dan saranmu.
3/5/17

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline