Tan Malaka merupakan sosok pahlawan asal Nagari Padam Gadang Sumatera Barat yang lahir pada tanggTal 2 Juni 1897 dengan nama asli Sultan Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka. Beliau merupakan putra sulung dari pasangan Rasad yang berasal dari Suku Chaniago dan ibunya Sinah dari Suku Simapur. Dalam melanjutkan jenjang pendidikannya Tan Malaka memilih negara Belanda sebagai pijakannya dalam menimba ilmu. Melalui berbagai sumber belajar dan dengan semangat jiwa nasionalisme yang tinggi, disinilah awal mula Tan Malaka mengenal revolusioner, sosialisme dan marxisme komunisme yang kemudian memunculkan pemikiran radikal. Tan Malaka adalah pejuang militan, radikal, dan revolusioner yang menghasilkan banyak pemikiran penting serta memiliki peran besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dalam karyanya Tan Malaka menuliskan Naar de Republiek Indonesia yang berarti menuju Republik Indonesia. Atas pemikirannya yang sangat kritis ia sering disebut sebagai Bapak Republik Indonesia yang merupakan pencetus Republik Indonesia sekaligus penggagas konsep Bangsa Indonesia. Bapak Republik ini merupakan seorang tokoh kemerdekaan yang dikenal berdasarkan pemikiran dan gagasan revolusionernya yang radikal, menentang penjajahan kolonialisme dan imperialisme oleh Belanda dan Jepang. Tan Malaka berhasil membentuk dirinya dengan pemikiran revolusioner dan selama lebih dari sepuluh tahun beliau berupaya mewujudkan ide-idenya bersama rakyat.
Tan Malaka tergabung dalam Partai komunis Indonesia walaupun pada kenyataanya beliau bukanlah penganut paham Komunis sepenuhnya. Ia hanya memanfaatkan konsep tersebut guna perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme bahkan ia dianggap sebagai penghianat dikarenakan pada tahun 1907 lebih memilih untuk keluar dan medirikan partainya sendiri dengan nama PARI (Partai Repubik Indonesia. Pada kenyataannya Tan Malaka tetap berkontribusi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga berhasil diraih pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda berupaya menjajah kembali sehingga Tan Malaka dan para pengikutnya memilih untuk berjuang dengan metode gerilya. Perjuangan ini memberikan dampak positif, ditandai dengan pengakuan internasional terhadap eksistensi Indonesia dan kekuatan militernya.
Perjuangan yang begitu besar malah memberikan dampak buruk bagi Tan Malaka. Beliau ditangkap oleh tentara Republik yang ia bentuk. Gerakan yang dilakukannya dianggap mengancam pemerintah Republik Indonesia walaupun sebenarnya hal tersebut merupakan bentuk partisipasi dalam mempertahankan kemerdakaan. Pada kenyataanya Tan Malaka ingin menunjukan bahwasanya perjuagan diplomatik belum sepenuhnya mampu memberikan kemerdekaan pada Bangsa Indonesia. Namun semua sudah terlambat perjuangan Tan Malaka kian berhenti, beliau ditembak mati di kaki gunung wilis tepatnya pada tanggal 21 Februari 1949 oleh pasukan dari Bataliyon Sikatan Letnan Sukotjo.
Nama Tan Malaka nyaris terhapus sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Demi kepentingan politik pada masa itu namanya dilupakan karena beliau dianggap sebagai seorang komunis. Peran perjuangannya memudar dari ingatan kolektif di Indonesia beliau dianggap sebagai tokoh yang memperlemah perjuangan revolusi padahal faktanya beliau menentang kolonialisme dan menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pengasingan dan pembuangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H