Aku menatap wajahnya begitu suram, tak ada bulan sabit terbesit diwajahnya, kusut wajahnya mengalahkan baju pengemis di jalanan. Matanya bengkak seperti hendak copot dari kelopaknya. Ia hanya tergeletak di atas ranjang yang tampak rusuh. "kak, aku berangkat sekolah dulu ya?" ucapku, tapi ia malah berbalik membelakangiku usiaku dengannya hanya terpaut satu tahun saja. Namaku Syafa dan kakaku Zahra, dan jangan lupa ibuku, aku tinggal besama ibuku dan kakakku, jangan bertanya ayahku dimana karena aku tak sanggup untuk mengatakannya.
"Syafa, berangkatlah nak!" ucap ibuku diambang pintu kamar dengan senyum manisnya, senyum itu yang menjadi pahlawanku setiap waktu. Ibu mengulurkan kotak makan kearahku, ibu selalu menyiapkannya untukku karena menurutnya aku pemalas, apalagi jika harus mengantri di kantin yang itu akan membuang-buang waktu saja.
Aku terus menelusuri lorong sekolah dengan tatapan kosong dan semua ingatan kelam itu mulai menguasai pikiranku. Tawaku menggema dilorong ini bukan tanpa sebab tentunya karena tingkah lucunya yang memperagakan guru olah raga ketika marah, dan asal kalian tahu tidak ada mirip-miripnya sama sekali. Ah, dia memang ada saja tingkahnya, kalau bukan karena dia kakakku tak mungkin aku tertawa seperti ini. "Syaf, ayo ke kelas bel sudah berbunyi dari tadi" ucapnya sembari menyeretku masuk ke kelas. Tentunya aku sangat kesal dengannya tak bisakah dia pelan-pelan saja tanpa harus berlari dan menyeretku seenak jidatnya, dia Vania sahabatku di kelas. Wajahku masih muak untuk melihatnya, malas sekali melihat wajahnya yang tengil itu. "Syaf, aku tahu kamu pasti ingat kejadian itu lagi kan?, sudahlah lupakan!". Bagaimana bisa aku melupakan kejadian itu, bahkan kejadian itu masih berlangsung satu minggu dan dia berucap seolah kejadian itu hanya hal sepele. Vania menarik lenganku agar aku menatapnya, ia tersenyum begitu manis di depanku, sehingga membuatku lupa akan perlakuannya tadi, entahlah setiap melihat senyumnya aku menjadi tenang.
"kamu gak ke kantin Van?" tanyaku, "aku mau menemanimu makan disini" ucapnya sembari mengeluarkan bekalnya yang ia letakkan di laci mejanya. Ya, dia tidak akan membiarkanku makan sendiri karena dia bilang kalau aku sendiri di kelas dia juga akan sendiri di kantin dan itu membuat makannya tidak nikmat. Bukan kita tidak punya teman lagi, tapi kita malas saja untuk bergabung dengan mereka, entahlah mengapa begitu.
Waktu cepat berlalu bel tanda pulang telah berbunyi nyaring hingga memekakkan telingaku, segera aku membereskan peralatan tuliskan dan segera mengacir keluar kelas. Seperti biasa aku sedang menunggu jemputan di depan sekolah duduk dibawah pohon yang tampak subur dan lebat daunnya, menjadikannya tempat ternyaman untuk berteduh dari panasnya mentari siang ini. Ingatanku mulai menerawang ke waktu dimana aku menunggu ayah menjemput aku dan kakakku disini, iya ditempat ini.
Tiin....tiiin...
Suara klakson mobil ayah mengagetkan kami yang sedang asik bercerita. "ayo cepat naik, pasti kalian sangat lelah", ayah dengan sangat energik membukakan pintu mobil untuk kami. Tentunya di dalam mobil tidak akan pernah sunyi, selalu ada saja tingkah lucu kakakku ini yang membuat kami terbahak dengan semua ceritanya yang konyol.
Sampai dilampu merah jalanan ini tampak begitu sesak dan ramai, "yah mampir di toko buku dulu ya?" rengek kakakku pada ayah, "mau beli buku apa kak?" dengan girangnya kakakku berucap "novel yah, novelnya bagus banget dan baru lauching hari ini di toko buku yah". "belinya besok aja pas libur kak, adek laper banget pengen cepet-cepet makan masakan ibu yang supeeer lezat" sanggahku sembari mengelus-elus perutku. Tapi tetap saja kakakku tak mau mengalah ia keras kepala, hingga terjadi adu mulut antara aku dengannya. "sudah-sudah bener kata adek belinya besok saja ya, kalian pasti sudah lelah sekali hari ini, kita pulang saja ya?" ayahku melerai. Kakakku mulai bete dan cemberut, mulutnya mengerucut ke depan mirip mulut bebek yang tengah kehausan. Ayah melajukan kembali mobilnya setelah tanda lalu lintas berganti lampu hijau. Mobil membelah jalan yang tampak sesak oleh kendaraan yang berlomba-lomba untuk segera sampai ke tujuan.
Suara klakson mobil terdengar nyaring dari arah belakang dan menabrak mobil kami hingga terdengar sangat keras, benturan truk itu mengenai belakang mobil kami. Setelah itu semua berubah gelap. Hingga aku membuka mataku perlahan hanya atap putih yang terlihat dan bau obat-obatan terdengar begitu menyengat. Aku melihat disampingku ada ibuku yang matanya terlihat sangat bengkak. "Syaf" seseorang mengagetkanku, rupanya aku tertidur di bawah pohon rindang ini. "ayo pulang, jangan tidur disini ibu terlalu lama jemputnya ya? Sampai kamu tertidur di sini". Iya itu ibuku yang membangunkaku. "ah nggak bu, mungkin aku hanya mengantuk saja sampai tidak sadar jika tertidur disini.
Kejadian itu mengakibatkan ayah pergi terlebih dulu dari kami, dan tak mungkin lagi kembali karena ayah sudah tenang di atas sana. Keadaan kakak juga mengkhawatirkan sekali, kakinya lumpuh total. Sejak saat itu kakakku membenciku ia bilang kejadian itu salahku, andai waktu itu kita menuruti kemauannya untuk ke toko buku, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Hingga detik ini ia enggan untuk bertegur sapa denganku, aku seperti kehilangan separuh jiwaku. Apa mungkin ini semua salahku? Seandainya ayah dulu tidak menuruti kemauanku mungkin tidak akan ada yang pergi, tidak akan ada yang membenci, dan tidak akan ada yang tersakiti seperti kakakku saat ini. Entahlah semua terjadi begitu saja tanpa terduga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H