Lihat ke Halaman Asli

(3) School for Nation Leader : Diagram Venn bernama SNL

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu kebiasaan yang tidak bisa tidak dihindarkan selama dalam acara penggemblengan ini. Ada 50 orang yang ikut dalam pelatihan ini dan hampir mustahil mampu mengingat nama setiap peserta hanya dalam waktu satu malam saja. Maka, jangan heran jika ada orang yang sudah berkenalan lalu melakukan ritual itu beberapa kali lagi selama acara. Baru setelah beberapa kali itulah semua nama peserta akan bisa diingat. Aku pun demikian, jika sudah lupa, maka berusaha sebisa mungkin untuk tidak canggung bersalaman dan bertanya lagi siapa namanya, nama panggilannya, berasal dari mana dan informasi unik lain yang melekat padanya.

Jika anda pembaca merasa bosan dengan kehidupan sekitar anda yang di kelilingi oleh orang-orang dan rutinitas yang malas tak bersemangat, maka ya, SNL ini adalah tempat yang cocok buat anda merasakan atmosfir yang berbeda. Aku sendiri baru sadar ketika aku bangun di pagi hari ternyata aku benar-benar sedang berada di tengah para aktifis dari seluruh Indonesia. Nama aktifis yang tersemat di dada mereka bukan hanya kebetulan, karena di hari kedua ini, tanpa harus diingatkan seperti anak kecil lagi, mereka bangun shalat shubuh, mandi, olahraga, berangkat ke aula utama dengan tepat waktu. Artinya, mereka sudah mengerti arti dari disiplin itu sendiri. Beda dengan beberapa organisasi dan komunitas yang aku ikuti selama ini. Lamat-lamat aku mengingat, sebenarnya ini adalah salahsatu yang selama ini aku rindukan sejak aku masih di Aceh dulu : berada bersama dan bekerjsama dengan orang-orang profesional yang menghargai waktu. Aku sangat bersyukur dapat mengikuti acara ini dan dikelilingi oleh orang-orang hebat seperti mereka. Sama seperti diagram Venn, mahasiswa-mahasiswi hebat ini ibarat lingkaran-lingkaran berwarna yang berkumpul dalam satu pertemuan (intersection) bernama School for Nation Leader 1. Celakanya, semalam, ketika pembagian kelompok, lingkaran paling kecil dalam diagram Venn itu terpilih untuk menjadi salahsatu dari lima ‘kage’ alias ketua kelompok. Hoegeng, nama kelompok itu, yang diusulkan oleh Syakir Daulay, mahasiswa dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Sesuai dengan nama dari pelatihan ini : School for Nation Leader, maka menolak menjadi pemimpin dalam rangkaian acara ini sama juga seperti menciderai memukul habis-habisan nama itu sendiri bukan. COKROAMINOTO Kabar gembiranya, malamnya kami akan nonton film ke bioskop bersama-sama. Ini juga kabar gembira bagi beberapa orang yang tertangkap basah tidak pernah ke bioskop sama sekali sebelumnya dan pengalaman pertama masuk bioskop ini apalagi dengan tiket gratis adalah sesuatu yang patut dirayakan dengan teriakan histeris beberapa peserta akhwat ketika menerima kabar tersebut. Bioskop tersebut katanya terletak di Botani Square, sebuah mall di kota bogor. Jadi sorenya, setelah shalat ashar kami berangkat bersama-sama ke lokasi menggunakan bis yang disewa panitia. Di dalam bis, layaknya mahasiswa pada umumnya, teman-teman semakin rajin merajut tali persahabatan dengan berfoto riang dan bercanda bersama. Bis yang kecil dan panas ini tak terasa menyusahkan kami sedikitpun karena ada payung keteduhan bernama kebersamaan dan canda tawa yang membuat kami merasa adem-adem saja di dalam bis ini.

Kami makan snack bersama-sama dan makan nasi lagi sesampai di lokasi agar setelah maghrib kami bisa langsung masuk theater. Panitia sengaja mengambil jadwal tayang setelah maghrib karena film ini panjang beud. Durasinya hampir mencapai 3 jam. Masih kurang panjang menurutku, untuk sebuah film tokoh besar sekaliber beliau. Film ini boleh jadi wajib di tonton oleh mahasiswa dan pemuda apalagi mereka yang mengaku berasal dari dalam ruh pergerakan. Pun begitu, aku juga tidak terlalu mengerti mengapa sutradara sekelas Garin Nugroho dan produser ternama Chrisitne Hakim berani-beraninya menempatkan film mereka satu slot penayangannya berbarengan dengan film franchise blockbuster Fast Furious 7. Ini sama saja dengan bunuh diri sehingga jelas saja film yang sangat penting ini sepi peminat. Bagi yang belum nonton, ayo ditonton ya. Mengapa film ini penting? Karena film berjudul Guru Bangsa : Tjokroaminoto ini adalah film yang menjelaskan kunci sejarah bagaimana isme-isme besar di indonesia lahir dari seorang Cokroaminoto melalui penggemblengan di rumahnya yang dijadikan kontrakan. Dan dari laporan yang beredar, film ini sepi peminat kalah pamor dari aksi Vin Diesel melawan Jason Statham ditambah dengan nostalgia bersama Paul Walker yang saat ini entah bagaimana dia mampu menjawab malaikat atas pertanyaan : 'man nabiyyuka?'. Back to us, untuk menambah keseriusan kami menonton film tersebut, panitia melalui pak Eibisono memberi tugas untuk membuat resume film tersebut dengan ancaman tulisan ini akan menjadi prasyarat untuk bisa mengikuti kelas esok paginya. Dasar seorang aktifis, ya angguk-angguk saja deh. Untuk panitia, dalam hati kami berkata : hanya satu lembar resume dengan waktu terbatas bukan satu dua kali kami lakoni pak. ^__^ Namun yang terpenting adalah akhirnya kami tahu siapa guru nya Soekarnoe si tokoh nasionalis pertama Indonesia ini. Bapak Cokroaminoto ini memang kurang terkenal namanya dalam buku-buku sejarah negeri kita. Tapi banyak yang tidak tahu ternyata bapak Cokroaminoto ini yang dalam film tersebut diperankan oleh Reza Rahardian itu, adalah juga guru dari para tokoh-tokoh pergerakan lainnya dalam sejarah Indonesia. Bagi yang ketika di sekolah dasar dulu nilai sejarahnya tinggi pasti ingat atau pernah membaca sekilas nama-nama semacam Semaoen, Kartosoewiryo dan Agus salim. Konco-konco ini adalah anak murid daripada pak Cokroaminoto. Lebih tepatnya jika dikatakan beliau adalah bapak kos mereka karena Mereka hidup bersama dalam satu ruangan besar, saling bertukar pikiran, dan tidur satu bantal bersama sepert sahabat di rumah sang guru bangsa yang salahsatu kamarnya disewakan bagi Mereka. Nama-nama diatas kemudian mewarnai sejarah perpolitikan indonesia. Semaoen adalah tokoh Sarekat Islam Merah yang ia pecah dari organisasi Sarekat Islam, pimpinan sang guru bangsa sendiri. Sarekat Islam Merah ini kemudian ber metamorfosis menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Konon, ideologi Semaoen ini terbentuk setelah ia membaca buku karangan pak Cokroaminoto yang berjudul Islam dan Sosialisme. Kemudian ada Kartosoewiryoe. Pasca kemerdekaan indonesia, beliau merupakan pendiri Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian dianggap sebagai organisasi pemerintahan tandingan (baca : pemberontak). Kartosoewiryoe kemudian di jatuhi hukuman mati oleh presiden pertama Indonesia yaitu Soekarnoe yang notabene adalah teman satu bantal tidurnya dulu. Oh iya, jika dua temannya cenderung pada ideologi Sosialisme dan Islamisme, maka Soekarnoe pada awal-awal cenderung pada ideologi Nasionalisme walau pada akhirnya nanti bung Karno berusaha untuk menggabungkannya dalam satu ideologi yang ia beri nama sendiri menjadi NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Kabarnya, Soekarnoe saat itu menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menandatangani surat keputusan hukuman mati terhadap sahabatnya sendiri. Sejenak aku berpikir, jika tidak berkaca pada sejarah, maka para peserta SNL 1 2015 ini pun bisa jadi nanti akan mengalami nasib yang sama : saling lempar senyum di dalam paviliun di tahun 2015 ini tapi nanti akan saling lempar granat di tahun 2045. Na’udzubillah. Dari ketiga tokoh diatas, bisa kita simpulkan pada awalnya Mereka masing-masing seperti sebuah lingkaran kecil kosong dalam diagram Venn sama seperti penjelasan diatas tadi, Mereka bertemu dalam satu irisan dan lambat laun lingkaran-lingkaran itu membesar dengan corak warnanya sendiri. Namun walau Mereka berguru pada satu orang yang sama, bergurau canda dibawah satu atap yang sama dan Mereka adalah sahabat satu sama lainnya, pada akhirnya Mereka harus terlerai dan bahkan saling berbenturan. Sekilas SNL 1 ini juga merupakan sebuah upaya meniru apa yang telah dilakukan oleh pak Cokroaminoto dahulu kala. Apalagi, salahsatu bagian lirik dari hymne Negarawan Muda Indonesia menggubah petikan dari kalimat pamungkas dari sang guru bangsa : Setinggi-tinggi ilmu, Semurni keyakinan, Seluas cita-cita, Sebaik-baik strategi Namun bedanya, irisan dalam semesta ini lebih banyak yang diwakili oleh 50 lingkaran dari seluruh Indonesia. Kemudian Kami hidup di dalam paviliun-paviliun nyaman, mendapat fasilitas makan yang enak, sibuk berfoto groufie, terkantuk-kantuk menunggu coffe break kesayangan dan hanya memiliki waktu satu minggu saja untuk bertatap muka satu sama lain. Tapi dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi sekarang, apa yang dikatakan Soekarnoe dengan 10 orang pemuda mampu mengguncangkan dunia bukan suatu hal yang mustahil lagi saat ini. Tapi ya itu, asalkan generasi muda saat ini tidak disibukkan menjadi buruh pendidikan, korban teknologi, hamba hedonisme dan alpa melihat dinamika sosial disekitarnya. Pak Cokroaminoto dulu pernah menerbangkan pesawat kebangsaan yang berpenumpang orang-orang hebat pada zamannya. Namun karena satu dan lain hal, pesawat itu oleng dan menabrak gunung walau pada akhirnya Indonesia tetap berdiri sebagai satu negara. Kini Dompet Dhuafa --- yang di akhir sesi nanti Aku baru tahu bahwa lembaga ini dilahirkan oleh Republika, Republika dilahirkan oleh ICMI, ICMI dilahirkan oleh Habibie atas dukungan Soeharto dan kedua nama tersebut sudah pasti memiliki hubungan yang erat dengan Soekarnoe yang berguru pada perintis pertama pesawat peradaban bernama Indonesia ini --- melalui program School for Nation Leader 1 berusaha menerbangkan kembali pesawat kebangsaan itu dan berharap pesawat ini mendarat di landasan pacu Indonesia Emas pada tahun 2045 (Tepat 100 tahun kemerdekaan Indonesia). Namun yang musti diingat adalah, jika Kita tidak mempelajari blackbox pesawat kebangsaan Cokroaminoto, maka tanpa ragu Saya mengatakan : Prepare for Impact!!! Seperti Diagram Venn, Kita bisa jadi adalah lingkaran yang berbeda-beda warna dan ukurannya, namun hingga akhir hayat, keraskan usaha untuk tetap berada dalam irisan (Intersection) walau apapun kondisinya. Dan semoga tulisan yang ditulis oleh lingkaran terkecil dalam Diagram Venn ini bisa menjadi pengingat bahwa ada badai besar dihadapan Kita : Bersatu dalam pesawat yang sama akan selamat, membuka pintu karena takut sama artinya dengan bunuh diri. Yogyakarta 30 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline