Lihat ke Halaman Asli

Co-opetition : Paradigma Pandangan Ekonomi yang Egaliter

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Agnan Zakariya

Pada dasawarsa terakhir Indonesia mengalami hal-hal yang signifikan pada perubahan ekonomi dunia, dimulai dengan gelombang krisis global yang di tandai collapse-nya lembaga keuangan lehman-brother mengantar sendi-sendi ekonomi dunia menjadi lesu, walau secara spesifik gelombang krisis tersebut tidak berdampak signfikan pada perekonomian di Asia, termasuk Indonesia.

Selanjutnya pembukaan gerbang perjanjian internasional dengan disepakatinya perdagangan bebas ASEAN - China secara simultan telah mengubah wajah perekonomian Indonesia yang sarat tuntutan dengan persaingan, dengan segala macam kondisi dan keadaan yang ada, siap atau tidak segala potensi usaha dihadapkan pada standarisasi global sehingga berbuah pemikiran yang menuntut lebih ide kreatif para pengusaha untuk bertransformasi mengembangkan segala potensi bisnis dan usahanya agar melebarkan sayap, ini positif.

Antara siap dan tidak siap!

Disisi lain hal ini telah menciptakan kekuatan ekonomi dengan wajah baru, yaitu ekonomi berwajah kapitalis dimana perniagaan menjadi sarat kompetisi yang akhirnya membuat dampak. Di sadari atau tidak ketertinggalan sangat timpang terhadap kegiatan dunia usaha mikro. Dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia Tahun lalu, IPM Indonesia berada pada peringkat ke-111 dari 182 negara. Sebenarnya, dari tahun ke tahun nilai Indonesia selalu naik, tapi kenaikan itu belum cukup mendongkrak secara drastis posisi peringkat IPM Indonesia. Sejak 2004 angka IPM Indonesia tercatat sebesar 0,714, kemudian naik menjadi 0,723 (2005), 0,729 (2006) dan 0,734 (2007). Dalam arti kata ekonomi Indonesia memperlihatkan perbaikan, tapi ini hanya gejala ekonomi secara makro bukan mikro, banyak perusahaan perusahaan kecil yang sebenernya belum dapat bersaing sempurna, disisi lain jumlah badan permodalan indonesia yang masih sedikit untuk pro terhadap usaha-usaha kecil. Adalah sebuah ironi keprematuran ekonomi Indonesia saat ini, lambat laun tapi pasti Indonesia telah meninggalkan identitas perekonomian sejatinya karena banyak dipengaruhi iklim ekonomi global dan sikap mental bangsa Indonesia sendiri yang sangat rentan luar biasa lemahnya mengakibatkan perubahan wajah ekonomi indonesia telah banyak dipengaruhi wajah ekonomi luar, berbasiskan liberal dan kapitalisme.

Wajah baru perekonomian Indonesia sekarang menghasilkan berbagai dampak pada sisi negatif, dan tak diyana sisi positif pun ada. Karena kembali pada nilai filosofis setiap kebijakan, masing-masing telah memprakarsai kebijakan dengan porsi dampak yang berbeda, entah itu yang pro terhadap kebijakan maupun yang kontra, namun yang sangat jelas adalah wajah baru ekonomi indonesia saat ini sangat timpang pada keegaliteran. Wajah Ekonomi indonesia dengan gembar-gembor telah sukses mengangkat perekonomian Indonesia dimata dunia harusnya malu meninggalkan budaya indonesia, karena telah berapi-api meninggalkan ekonomi bangsa, yaitu ekonomi yang egaliter terhadap kerakyatan : ekonomi perkoperasian.

Perubahan indonesia kearah perdagangan bebas dan kapitalis sebenernya tanpa disadari telah membuat gap antara yang miskin dengan yang kaya, semakin banyaknya perusahaan-perusahaan multinasional yang becokol di negeri ini telah menjadikan bangsa kita sebagai kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa, kutipan pernyataan tersebut bukan melihat pada perspektif ekonomi saat ini, tapi kutipan tersebut adalah pernyataan soekarno saat Indonesia mengalami penjajahan. Yang menjadi pertanyaan apakah kita masih dijajah? entahlah silahkan berargumen sendiri.

Dari tahun ketahun pun wajah ekonomi indonesia masih pada wajah kapitalisme yang masih sangat kuat melekat. Secara prestasi ekonomi makro indonesia telah mencapai menurut seumber, namun kalangan ekonom hanya sedikit yang berbicara terhadap keadaan ekonomi mikro indonesia, prospek ekonomi indonesia masih sangat rentan dengan dominasi perusahaan multinasional. kita tidak pernah benar-benar merasakan manfaat dari perusahaan mereka, selain menjadi kuli di bangsa sendiri. Gap yang jauh, menciptakan hubungan yang sangat tidak proporsional antara perusahaan dan tenaga kerjanya, terlalu banyak bangsa kita mengalami pendarahan yang hebat apabila disinggungkan dengan masalah sosial yang ditimbulkan, begitu banyaknya tenaga buruh yang murah adalah salah satu dampak dari semua ini. efek dominonya telah menjauhkan rentang kesejahteraan masyarakat Indonesia, terutama pada harga sebuah pendidikan bagi bangsa. Kita hidup di negeri kaya yang dipaksa miskin dan bodoh sehingga perawakannya melahirkan budak-budak baru yang dapat di dikte seperti zaman perbudakan mesir kuno, memperjualbelikan segala keterbatasan dan ketidakmampuan bangsa Indonesia.

Secara geografis indonesia sebenarnya adalah negara kaya, karena kurangnya tenaga untuk mengolah segala macam hasil bumi Indonesia banyak pangsa potensial di indonesia malah ditangani oleh Negara-negara luar dan hal ini masih terus berjalan. Indonesia harus mulai merevitalisasi asset pada investasi sumber daya masyarakatnya dan mendukung penuh untuk berprospek pada kegiatan industri mikro, didukung dengan segala elemen pemerintahan baik itu permodalan, pelatihan manajemen, dan informasi yang dapat diakses dengan mudah dan baik. Karena secara filosofis sebuah industri besar pun pernah kecil, sebelum besar.

Dengan sejalan dibukanya perdagangan bebas ASEAN – china, justru negara china yang menjadi sentral perdagangan bebas ini mereformasi ekonomi dari pedesaan. Langkah yang sangat kontradiktif dengan Indonesia. Apakah ini langkah mundur? Malah bukan, justru sebaliknya. Negeri komunis yang dalam tiga dasa warsa terakhir manganut ekonomi sentralistik ini justru menjadi raksasa ekonomi paling fenomenal di dunia. Mengapa harus menoleh ke desa, bukankah pedesaan selalu identik dengan kebodohan dan ketertinggalan, justru mereka mengubahnya menjadi suatu sikap optimis. Memang kita bangsa indonesia harus banyak belajar dengan apa yang disebut kajian strategi, kenapa Indonesia malah mengambil langkah mundur di setiap kebijakannya.

Kita masih (harus) Berperang dengan Kolonialisme!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline