Aku memang salah.
Sebelumnya yang kucari hanyalah kesempurnaan. Ternyata kau benar. Kau menyadarkanku bahwa yang kubutuhkan haruslah seseorang yang sabar. Karena bagiku kali ini cinta haruslah menjadi ikatan panjang antara dua hati yang saling terikat.
Dan sekarang terlambat untuk kita ulangi lagi meskipun itu sangat ku inginkan.
Mungkin saja bagimu sekarang aku hanyalah seekor semut sok pintar yang ingin mengambil sebutir gula di dalam toples yang sudah tertutup. Atau mungkin seekor kupu-kupu yang ingin kembali menjadi ulat lagi.
Kamu sungguh aneh. -katamu
Kamu sungguh egois. -katamu
Yah, aku terlambat menyadari itu.
Dan sekarang penyesalan menyela setiap waktuku.
Demi meringankan beban ini, aku mencoba menyibukan hari-hariku dengan hal-hal baru. Andai kau tahu, itupun tidak bertahan lama.
Kisah cinta pelik diterka.
Yah! Sebuah kehilangan mungkin perlu dirasa.
Lebih jauh lagi agar yang ditinggalkan dapat menyadari bahwa setiap yang pergi memang bukan cinta sejati, tetapi cinta Ilahi.
Beginikah rasanya penyesalan?
Aku sering bermain-main dengan perasaan itu dulu.
Karma datang di waktu yang tepat. Pada orang yang tepat.
Aku menerimanya dan tersenyum ketika kubuka jendela pagi hari, padahal dalam hati menggerutu "Tuhan, beginikah rasanya bangun tidur setelah patah hati ?" - Sungguh munafik kurasa.
Dan ini gila! Seseorang harus memijat kepalaku sebentar dan menyeduhkan segelas teh terhangat. Ternyata percuma. Tak ada teh terhangat selain nostalgia.
Lalu bagaimana dengan liburan sejenak untuk merebahkan badan ini di tepi pantai, mungkin? Atau di puncak gunung? Atau dimana saja asal dapat membuat bayanganmu menyerah. Namun lagi-lagi percuma. Sejauh apapun melangkah, jarak takan pernah mampu memisahkan isi hati dan kepala.
-Zakariya Prast
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H