Lihat ke Halaman Asli

Integrasi Sarana Pengelolaan Sanitasi dan Ruang Terbuka Hijau: sebuah Strategi Penyediaan Ruang Publik di Permukiman Kumuh

Diperbarui: 1 Oktober 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1. Ilustrasi Ruang Publik

(Sumber: http://www.rca.ac.uk/research-innovation/helen-hamlyn-centre/research-projects/2012-projects/green-spaces-/ )

Menurut Project for Public Spaces in New York pada tahun 1984, ruang publik yang dimaksud secara umum pada sebuah kota, adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte) dan museum. Pada umumnya ruang publik adalah ruang terbuka yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang ini memungkinkan terjadinya pertemuan antarmanusia untuk saling berinteraksi. Pada ruang ini seringkali timbul berbagai kegiatan bersama, sehingga ruang-ruang terbuka ini dikategorikan sebagai ruang umum (Studyanto, 2009). Ruang publik biasanya didesain agar dapat memiliki akses yang besar terhadap lingkungan sekitar.

Pemerintah bertanggung jawab dalam menyediakan ruang publik kepada masyarakat secara gratis. Masyarakat, selain berhak untuk memanfaatkan dan menikmati keberadaan ruang publik, memiliki kewajiban untuk menjaganya agar tidak rusak dan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Masyarakat yang dimaksud dalam hal ini adalah seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, mulai dari para pejabat, konglomerat, aparat, karyawan, buruh, petani dan lain-lain. Semua lapisan masyarakat berhak untuk mendapatkan layanan berupa ketersediaan ruang publik yang layak. Salah satu komponen masyarakat yang ada di perkotaan adalah masyarakat permukiman kumuh yang juga berhak untuk mendapatkan akses layanan tersebut.

Permukiman kumuh adalah kawasan yang hampir tidak bisa dipisahkan dari keberadaan perkotaan di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU dan PR), di Indonesia terdapat 38.431 ha yang tersebar di 4.108 kawasan. Permukiman kumuh tersebut timbul dikarenakan arus urbanisasi yang tidak terkontrol sehingga berakibat perkotaan tidak mampu menampung para pendatang dengan layak. Beberapa akibat yang muncul dari keberadaan permukiman kumuh adalah ketidakteraturan bangunan, sarana sanitasi yang buruk, ketersediaan air bersih yang terbatas, tidak tersedianya ruang terbuka hijau serta terbatasnya ruang publik untuk aktivitas warga. Salah satu penyebab terhambatnya penyediaan fasilitas-fasilitas tersebut adalah terbatasnya lahan yang tersedia di permukiman kumuh.

Salah satu dampak dari terbatasnya lahan yang ada di permukiman kumuh adalah ketersediaan ruang publik yang sangat minim, khususnya terkait dengan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (biasanya berupa taman). Pemerintah melalui Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memiliki sebuah target berupa capaian 0 % permukiman kumuh pada tahun 2019, seperti yang tertuang dalam program 100 0 100. Penyediaan ruang publik di permukiman padat penduduk yang identik dengan sebutan permukiman kumuh adalah salah satu cara meningkatkan kualitas suatu permukiman atau dengan kata lain bisa menjadi bagian dalam mengentaskan permukiman kumuh.

Integrasi Pemanfaatan Ruang untuk Sarana Sanitasi dan Ruang Terbuka Hijau

Masalah keterbatasan lahan di suatu kawasan memaksa perlunya efektivitas pemanfaatan suatu lahan agar bermanfaat untuk berbagai fungsi. Salah satu segmen yang bisa diintegrasikan dengan penyediaan ruang publik berupa Ruang Terbuka Hijau adalah sarana pengelolaan sanitasi. Salah satu fasilitas pengolahan limbah rumah tangga yang biasanya ada di suatu permukiman adalah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal, seperti yang terdapat di permukiman padat penduduk di RW 09 Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagajarsa, Kota Jakarta Selatan. IPAL tersebut berfungsi untuk mengolah air limbah rumah tangga yang berasal dari 40 KK yang ada di wilayah tersebut. Air limbah tersebut diolah di instalasi IPAL sehingga menghasilkan air yang layak untuk dibuang ke sungai. IPAL yang merupakan hasil kerja sama antara Satuan Kerja Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP), Masyarakat dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jakarta ini juga berfungsi sebagai ruang publik berupa taman bermain bagi anak-anak. Ruang publik tersebut bermanfaat sebagai sarana alternatif bermain bagi anak-anak yang dapat diakses dengan mudah karena terletak di pinggir permukiman. Konsep integrasi penggunaan lahan tersebut merupakan sebuah solusi atas keterbatasan lahan dalam suatu wilayah. Gambar berikut merupakan IPAL yang ada di RW 09, Kelurahan Lenteng Agung.

Gambar 2. IPAL di RW 09 Kelurahan Lenteng Agung

(Sumber: Dokumentasi Kunjungan Lapangan Youth Program Kemen PU dan PR 2015)

Permukiman lain yang memiliki IPAL terpusat adalah di RW 04 Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, IPAL tersebut hanya berfungsi sebagai sarana pengolahan sanitasi saja. Padahal area IPAL tersebut masih memiliki beberapa ruang yang masih bisa dimanfaatkan sebagai area terbuka hijau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline