Dalam dunia pendidikan pesantren, seringkali kita mendengar kata bandongan dan sorogan. Pesantren merupakan lembaga pendidikan khas yang hanya ditemukan di negera ini. Orang-orang yang belajar di dalamnyaa disebut sebagai santri. Dan yang memimpin pesantren disebut sebagai Kyai. Adapaun para pengajarnya biasa disebut dengan ustadz bagi laki-laki, dan ustadzah bagi perempuan.
Pada umumnya, cara belajar dengan bandongan dan sorogan identik dengan pesantren salafi. Berbeda dengan pondok pesantren modern yang lebih menekankan pada disiplin penguasaan bahasa Arab dan Inggrisnya,. Pondok pesantren berbasis salafi masih tetap eksis dengan sistem belajarnya yang tradisional dengan sarana pembelajaran kitab kuningnya. Cara belajar dengan cara bandongan dan sorogan mempunyai konsep dasar yang sama, yaitu sistem belajar yang diikuti oleh murid dan guru, dengan kitab kuning sebagai objek kajiannya.
Kitab kuning yang dikaji biasanya berdasarkan disiplin ilmu fiqih, tauhid, nahwu, shorof dan lain sebagainya. Kata bandongan sebenarnya berasal dari bahasa Jawa, yang artinya berbondong-bondong. Bandongan juga biasa disebut dengan wetonan, alasannya ialah bandongan biasa dilakukan di jam-jam tertentu. Sang Kyai atau ustadz dalam metode bandongan berperan untuk membacakan kitab yang dikaji di hadapan para santrinya sedangkan para santrinya menyimak untuk menulis makna dan penjelasannya. Pada sistem belajar bandongan, santri yang turut serta sangat banyak jika dibandingkan dengan sorogan.
Sedangkan kata sorogan diambil dari bahasa Jawa , sorog, yang bermakna menyodorkan atau menyetorkan. Metode ini lebih berfokus kepada kemampuan santri dalam membaca dan memaknai kitab-kitab kuning yang dikaji. Awalnya, sang kyai atau ustadz membacakan kitab kuning di depan santri-santrinya. Perlu diketahui bahwa di metode sorogan santrinya lebih sedikit dibanding bandongan.
Kemudian para santri dituntut untuk menguasai bacaan kitab kuningnya terlebih dahulu sebelum akhirnya disodorkan (disetorkan) kembali kepada kyai atau ustadz untuk mendapatkan bimbingan dan evaluasi secara individual. Semakin rajin santri tersebut sorogan kepada kyai atau ustadznya, maka semakin meningkat pula kemahiran akan membaca dan memaknai kitab-kitab kuningnya.
Jika dicermati, metode sorogan dinilai lebih sulit dibandingkan dengan metode bandongan. Karena pada sorogan, santri harus lebih teliti, sabar dan tekun dalam menyorog (menyetor) bacaan kitab kuningnya kepada kyai satu persatu secara bergiliran.
Namun, di era modern seperti ini apakah cara belajar tersebut masih efektif?
Tentu saja masih, belajar semacam ini sebenarnya sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah ketika membacakan firman Allah kepada para sahabatnya. Bahkan hingga saat ini, metode ini masih banyak digunakan para thullabul ilmi (penuntut ilmu) di lembaga-lembaga pendidikan khususnya pesantren.
Cara belajar bandongan dan sorogan dinilai efektif untuk belajar agama. Karena pada dasarnya ilmu agama hendaknya didapatkan oleh Kyai langsung, mengingat akan pentingnya kesanadan dalam berilmu. Namun, mengingat kajian sorogan yang dilakukan secara individual, tentu tidak cocok bagi pembelajaran yang jumlah siswanya sangat banyak, karena akan banyak menyita waktu dan kurang efisien. Selain itu, cara belajar bandongan yang dilaksanakan bersama-sama cenderung mengurangi kreativitas para santri, karena mereka hanya diam mendengarkan sehingga mudah sekali memunculkan rasa kebosanan di kalangan para santri.
Meskipun terdapat kekurangan dalam pembeajaran sistem ini. Metode sorogan dan bandongan selain untuk mengkaji kitab-kitab kuning, sangat sesuai untuk digunakan metode menghafalkan al-Qur'an. Dengan adanya setoran kepada ustadznya, santri yang menyetor merasa ada seseorang yang membimbing, mengawasi, mengoreksi serta mengevaluasi bacaan dan hafalan jika terdapat kesalahan. Hal tersebut sangat membantu peran santri huffadz al-Qur'an (para penghafal al-Qur'an) dalam menghafal dan menjaga hafalannya.