Lihat ke Halaman Asli

Konsep ISL Vs IPL, Mana yg Lebih Baik?

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Konsep IPL yaitu Liga Indonesia berada dalam satu perusahaan (konsorsium), jadi semua klub dibiayai konsorsium, dengan konsekuensi hasil tiket, hak siar dan lain-lain masuk ke PSSI (konsorsium, red).

Ini yang mendasari kenapa saham 70% ke Djohar, 30% ke Faried. Hal ini sudah berjalan pada kompetisi LPI musim lalu, namun bisa dikatakan musim lalu adalah proyek rugi, kenapa?

Dengan jumlah uang miliaran rupiah yang telah dibagikan konsorsium ke 20 klub LPI musim lalu, kontrak marquee player, gaji untuk wasit asing, ternyata animo penonton untuk LPI sangat kurang. Karena sebagian besar adalah klub2 baru tanpa basis supporter yang kuat, sepi penonton, akhirnya tak laku dijual ke sponsor.

Konsep ini coba diterapkan pada musim ini, dengan kursi kepemimpinan PSSI yang sudah berada di tangan mereka, konsorsium mencoba menerapkan konsep tersebut di kompetisi musim ini, tapi terbentur dengan keberadaan klub-klub besar yang sudah berpuluh tahun berdiri.

Kenapa? Karena klub-klub itu sudah bisa mendapatkan sponsor sendiri, tanpa perlu bantuan konsorsium. Akhirnya segala cara coba ditempuh PSSI di antaranya,

1. Menggemukan kompetisi menjadi 36 dan setelah banyak mendapat protes menjadi 24, kenapa kok gak 18 tim aja, sesuai statuta? Ya karena dari 18 tim ISL musim lalu, sebagian besar bukan 'tim nya konsorsium' artinya nggak balik modal. Akhirnya ditambahlah 6 tim siluman itu, yang notabene 'timnya konsorsium', atau pesan sponsor.

2. Memergerkan tim-tim LPI dengan ISL, contoh Jakarta FC dengan Persija, ini bisa dikatakan take over secara halus, karena kita tahu potensi besar Persija dengan The Jak Mania nya.

3. Arema dan PSMS pun diakali PSSI seolah-olah terjadi dualisme padahal klub Aremabal dan PSMS IPL adalah klub palsu buatan PSSI. Tapi suporter PSMS dan AREMA tidak bodoh karena tahu mana klub yg asli, yaitu yg bermain di ISL.

Beberapa klub berhasil melawan, hasilnya apa? Timbulah dualisme, Persebaya 1927-Persebaya Wisnu, Arema M Nuh-Arema Rendra, Persija (Jakarta FC)-Persija Paulus, PSMS IPL-PSMS ISL dan hampir saja timbul Persib 1933. Klub2 di atas adalah klub-klub besar dengan basis supporter yang kuat, bisa dibayangkan keuntungan yang didapat oleh konsorsium?

Tidak ada yang salah dengan konsep konsorsium tersebut, dengan syarat seluruh tim adalah timnya konsorsium, seluruh biaya dari konsorsium, dengan timbal balik, hasil tiket tidak sepenuhnya untuk klub, sebagian ke konsorsium, pembagian hak siar, sponsor dan keuntungan ke konsorsium. Tapi hal ini tidak akan bisa berjalan jika di liga tersebut hanya sebagian kecil yang mau jadi timnya konsorsium.

Sedangkan konsep ISL, klub cari uang sendiri, cari sponsor sendiri, tapi keuntungan kompetisi ya balik ke klub (99% klub, 1% PSSI) karena pada konsep ini klub lah yang berdarah-darah membiayai diri mereka sendiri. Konsep ini yang dianut sebagian besar kompetisi-kompetisi eropa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline