Lihat ke Halaman Asli

Bakat

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam sebuah rapat forum pengambil kebijakan ada sebuah usulan menarik. Melihat banyaknya penempatan pegawai baru yang tidak sebagaimana mestinya (terutama yang mendapat drop-dropan dari pusat), perlu dipanggil psikolog yang kemudian diminta melakukan testpsikologi dan bakat. Sehingga dari test itu diketahui, si-A misalnya cocoknya di bagian keuangan, si-B cocoknya di Administrasi, si-C cocoknya nggak jadi pegawai di situ karena suka menggendutkan badan dan rekeningnya (hahaha…) dan seterusnya. “Sebetulnya dia tuh bakatnya apa sih? Apa cocok kerja disini?” Begitulah kiranya pertanyaan yang menggelitik dari senior.

Nah, ketika si junior yang sebetulnya tidak menahu apa-apa ketika ditempatkan dalam suatu institusi tertentu dihadapkan dengan tuntutan itu, bisa jadi ia mengusulkan juga, perlu ada test psikologi dan bakat buat seniornya juga. Bisa jadi hasil testnya nanti mencengangkan juga!!!

Dengan alasan bakat dan talenta, orang tua mendesak anak ke-3nya masuk ke jurusan favorit yaitu kedokteran karena orang tuanya (keduanya) adalah dokter dan ke-2 kakaknya adalah dokter pula. Padahal, ia begitu senangnya dengan ilmu akuntansi. Benar! Setahun saja dia berstatus mahasiswa kedokteran, setelah itu melanjutkan ke STAN. Anak pun mengalami sebuah trauma karena persepsi salah orang tuanya tentang “bakat” dan juga gengsi akan sebuah status.

Mitos tentang Bakat

Bisnis tes bakat melalui metode fingerprint pun kembali marak. Bisnis itu semakin ramai karena prinsip yang ditawarkan “siapa saja bisa” asal dibantu mesin komputer dan scanner sidik jari. Kalau dulu dibutuhkan seorang psikolog untuk membaca dan melakukan tes seseorang, kini seakan-akan siapa saja bisa.

Rhenald Khasali mengungkapkan Mozart, seorang komposer yang masyhur ternyata di usia enam tahun telah mengalami pelatihan lebih dari 3500 jam sejak usia tiga tahun. Ayahnya sendirilah yang menjadi pelatihnya. Michael Howl dalan bukunya Genius Explained menyimpulkan, manusia genius atau berbakat bukanlah dilahirkan, melainkan dibentuk melalui sejumlah pelatihan. Sedangkan Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers melihat kesuksesan yang luar biasa bukan terutama disebabkan oleh bakat namun lebih kepada kesempatan yang dimilikinya.

Yups! Kita sendirilah penemu bakat itu. Kita sendiri yang menentukan masa depan kita. Bukan sidik jari atau getaran-getaran lain yang bisa dilihat dari jejak sejarah atau desain darah. Kita bisa mulai dari mana saja, bahkan dari yang tidak punya bakat sama sekali.

Albert Einstein sejak kecil diramalkan menjadi anak yang bodoh. Dia baru bisa bicara pada usia 4 tahun dan baru bisa membaca pada usia tujuh tahun. Salah seorang pembaca bakatnya pernah mengatakan bahwa dia lemot, lamban berpikir, tidak senang bersosialisasi dan suka berkhayal yang aneh-aneh. Hal serupa dialami Michael Jordan, Beethoven dan banyak lagi. Michael Jordan dikeluarkan dari tim basket SMU-nya.

Bakat itu bukanlah sesuatu yang sudah ada pada diri tiap-tiap manusia, melainkan manusia itu sendiri –yang dibantu orang-orang yang mengasihinya– yang menemukannya melalui latihan, bimbingan dan kerja keras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline