Zakat merupakan salah satu rukun Islam keempat yang wajib dijalankan setiap muslim. Tujuan zakat sendiri sebenarnya untuk pendistribusian harta agar tidak menumpuk pada satu pihak sehingga pihak yang lain kesulitan mendapatkannya. Dalam zakat yang menjadi pokok bahasan adalah kaum lemah yang berhak menerima zakat dan kaum kaya yang wajib mengeluarkan zakat.
Di Indonesia sendiri menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) hingga bulan Maret 2016, jumlah orang miskin sekitar 10,86 persen atau sekitar 28,1 juta jiwa. Bahkan diperkotaan jumlah orang miskinnya mencapai 10,34 juta jiwa, sementara di pedesaan sekitar 17,67 juta jiwa. fenomena ini menggambarkan bahwa angka kemiskinan di Indonsia masih cukup besar.
Dibalik angka kemiskinan tersebut tentu juga ada kalangan yang hidup berlebih dengan pendapatan yang berlimpah, memiliki rumah megah dan berkendara dengan mobil mewah setiap harinya. Seprti yang kita ketahui mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Seharusnya di Indonesia ketimpangan antara si kaya dengan si miskin tidak begitu jauh karena ada pendistribusian harta yang berupa zakat. Sayangnya menurut hasil riset yang dilakukan BAZNAZ dan IPB dikata kan bahwa potensi zakat setiap tahunnya mencapai 274 triliun tapi faktanya yang terkumpul hanya sekitar 3 triliun saja hingga Juni 2016 (1,2 persen).
Gambaran tersebut menunjukkan peran zakat yang masih minim dalam mengatasi masalah kemiskinan yang ada. Padahal sebagai umat muslim, zakat sangatlah diharapkan sebagai garda terdepan dalam mengatasi masalah kemiskinan. Sehingga diperlukan terobosan-terobosan baru dalam mengoptimalkan peranan zakat.
Zakat Produktif merupakan terobosan yang dianggap tepat karena zakat produktif memiliki manfaat jangka panjang bagi mustahik bahkan mengangkat derajat mustahik menjadi muzakki sesuai tujuan zakat. Maksud dari zakat produktif disini adalah penyaluran dana zakat untuk tujuan-tujuan produktif dan memiliki dampak yang panjang.
Zakat produktif ini lahir sebenarnya karena melihat fenomena yang ada sebelumnya dalam pendistribusian dana zakat. Pendistribusian zakat dahulu biasanya bersifat konsumtif berupa uang ataupun barang sehingga hanya akan habis untuk dikonsumsi saja. Hal ini tidak memiliki dampak apapun dalam untuk meningkatkan derajat mustahik menjadi muzakki karena ketika uangnya zakatnya habis si mustahik akan kembali hidup susah seperti biasanya.
Yang selalu menjadi kunci dalam hal zakat salah satunya adalah pendistribusian. Zakat tidak akan berpengaruh apapun jika pendistribusian yang dilakukan oleh pihak pengelola zakat (amil) salah atau tidak tepat sasaran. Sama juga halnya dengan zakat produktif, walaupun memiliki tujuan yang baik namun jika pendistribusiannya tidak tepat maka tujuannya tidak akan tercapai. Adapun langkah-langkah yang bisa diperhatikan dalam pendistribusian zakat produktif adalah:
- Forcasting.Dalam hal ini pihak pengelola zakat harus memberikan taksiran sebelum pemberian zakat, baik dari segi jumlah dana ataupun lainnya.
- Planning.Perencanaan merupakan yang paling penting dalam melakukan tindakan, karena jika kita gagal membuat rencana, itu sama saja dengan merencanakan kegagalan. Sehingga proses ini sangat penting, baik dari membentuk strukturnya hingga menentukan mustahik yang berhak menerima dana.
- Organizing.Pembentukan aturan-aturan yang baku dalam struktur organisasi dan juga mengumpulkan elemen-elemen penting organisasi.
- Controlling.Suatu kegiatan tidak akan bisa berjalan pada garisnya jika tidak ada pengontrolan, baik pengontrolan dari sisi pengelola dan yang lebih penting adalah terhadap si mustahik.
Dalam zakat produktif yang menjadi titik fokus utama tentu saja adalah mustahik karena itu merupakan pihak yang mempunyai masalah. Pihak pengelola zakat seharusnya melakukan pengontrolan dan pendampingan bagi setiap mustahik yang dibantu. Pengontrolan ditujukan agar mustahik menggunakan dana zakat sebagaimana mestinya. Pendampingan dari pengelola juga menentukan keberhasilan mustahik dalam menjalankan usahanya. Pihak pengelola zakat bisa melakukan pendampingan seperti membuat seminar enterpreneurshiphingga bekerja sama dalam melakukan pembukuan usaha.
Lembaga zakat selaku amil bertanggung jawab sepenuhnya atas dana yang dihimpun dari masyarakat. Sehingga amil dituntut berfikir keras dalam menciptakan suatu sistem zakat yang ampuh untuk mensejahterakan mustahik dalam jangka panjang. Salah satu cara yang digunakan amil adalah sistem permodalan. Saat ini adal tiga jenis akad sosial yang bisa dikembangkan oleh lembaga zakat dalam menyalurkan modal kepada mustahik yaitu,
- Permodalan skema Qard al Hasan. Model ini amil bertindak sebagai pemilik modal yang meminjamkan modalnya kepada mustahik. Pinjaman ini tidak dikenakan bunga atau bagi hasil karena memang sesuai namanya yaitu pinjaman yang bersifat sosial. Jumlah pengembalian dan tenggat waktu pengembalian dikembalikan kepada kemampuan mustahik, sehingga ini yang membedakan dengan pinjaman lainnya. Walaupun ini bersifat sosial tetapi mustahik wajib mengembalikan pinjaman tersebut ketika mendapatkan untung. Dana ini kemudian disalurkan kembali kepada mustahik lainnya sehingga dana zakat akan terus berputar dan hidup. Yang perlu diperhatikan bahwa dana yang dikembalikan oleh mustahik bukan dianggap sebagai dana pengembalian tapi akan dianggap sebagai dana zakat. Ketika si penerima dana mengalami kebangkrutan setelah melakukan usaha yang sungguh-sungguh maka dana yang dipinjamnya tidak wajib dikembalikan karena dana zakat pada hakikatnya adalah milik mustahik. Model ini dianggap banyak pihak sebagai model terbaik dalam pendistribusian zakat.
- Permodalan skema Mudharabah. Dalam skema ini amil bertindak sebagai pemilik modal (shohibul maal) dan mustahik bertindak sebagai pengelola (mudharib). Seperti akad mudharabah umumnya yaitu keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan mudharib dan shohibul maal. Dalam kasus ini pihak mudharib seharusnya mendapatkan bagian keuntungan yang lebih besar karena akad mudharabah disini ditujukan untuk sosial bukan untuk bisnis. Imbal hasil yang didapatkan amil nantinya akan disalurkan kembali kepihak yang membutuhkan. Namun jika ternyata dikemudian hari mudharib mengalami kerugian, maka kerugian akan ditanggung bersama dan amil tidak boleh meminta pengembalian modal, oleh sebab itu istilah profit and loss sharing digunakan.
- Permodalan Skema Murabahah. Akad ini akan menjadikan pihak amil sebagai penjuan dan pihak mustahik sebagai pembeli. Pihak amil menjual sebuah produk sebesar harga modal ditambah sedikit keuntungan yang disetujui mustahik yang disesuaikan dari kemampuan mustahik. Kemudian untuk kemudahan mustahik, pembayaran boleh dicicil dengan besaran adn tenggat waktu yang disesuaikan dengan keadaan mustahik. Barang yang dijual amil kepada mustahik tentu barang yang memiliki nilai produktif dan bisa mendatangkan keuntungan dari sana, misal seperti perlengkapan menjual martabak, mesin kompresor untuk cuci kendaraan ataupun barang yang mendatangkan keuntungan lainnya. Keuntungan yang dadapatkan amil, seperti akad lainnya akan kembali disalurkan kepada pihak mustahik lainnya.
- Jadi jelas bahwa dari skema permodalan diatas keuntungan dan angsuran yang diperoleh bukanlah milik lembaga zakat. Amil hanya bertindak sebagai perantara antara muzakki dengan mustahik yang bertugas mengurus dana zakat agar tetap berputar dan maksimal dalam pemberdayaan mustahik. Hal ini juga menunjukkan bahwa permodalan dana zakat untuk usaha produktif menjadi satu bentuk atau model distribusi bagi peningkatan kemakmuran masyarakat, karena bantuan permodalan merupakan kunci bagi penggerak sektor riil dalam perekononomian, khususnya masyarakat miskin. Dan negara pasti sangat mengharapkan bantuan dari zakat dalam mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H